Selasa, 08 November 2011

Di Balik Penulisan Novel Myself : Scumbag Beyond Life and Death

I
Maret 2005, ketika itu Minor Books baru merintis penerbitan buku dengan debutnya Tiga Angka Enam karya Addy Gembel.. Untuk itu, saya meminta bantuan Ivan menggoreskan ilustrasi-ilustrasinya bagi cerpen-cerpen Addy Gembel. Ivan dipilih karena saya tau banget kalau karya-karya freehandnya pol! Selain itu, ia kawan Gembel sejak abg dan tau banget karakter Gembel. Ivan tak menyanggupi, karena saat itu ia sedang sibuk menggarap Beyond Coma and Despair. Tapi tak juga menolak. Ia bilang akan mencobanya dan baru menyelesaikan satu rancangan untuk cerpen “Republik Bintang Tengkorak”. Ketika Ivan memang tak bisa menyelesaikan ilustrasi-ilustrasinya, lini ilustrasi untuk Tiga Angka Enam langsung ditangani Bob-Yudo—sang penggila freehand dan desain gothic—yang gambarnya tak kalah mantap. Ivan memang tak jadi bekerja sama, namun selama proses penggarapan Tiga Angka Enam, saya melihat minatnya yang besar di bidang penulisan dan penerbitan.
Ia memelihara harapan besar untuk menuliskan sebuah buku mengenai lirik-lirik yang ia buat. Mirip buku lirik The Beatles : lirik dimuat, lantas ada keterangan siapa yang bikin, kapan, pas dalam kondisi gimana, nyeritain apa, dll. Pada kelanjutannya, seiring dengan percakapan kami di kamar Ivan-Mery dikawani minuman-minuman ringan dan musik-musik keras, ide itu berkembang semakin liar. Ivan ingin menuliskan sejarah Burgerkill, band yang telah membesarkannya, membesarkan komunitas Ujungberung Rebels, semakin mengangkat nama Bandung sebagai barometer musik Indonesia, sekaligus band metal pertama yang menjebol label besar, kemudian berani meninggalkan label raksasa itu demi mengejar idealismenya yang semakin menggebu, serta seabrek pencapaian yang baginya sendiri-dan juga jelas buat kita-sangat fenomenal.
Untuk itu, Ivan meminta saya membantunya dalam proses penulisan sejarah Burgerkill. Saya menyanggupinya. Dan sepertinya, Ivan sangat serius dengan ambisinya. Dalam beberapa buku catatan hariannya, ia menuliskan corat-coret kerangka utama sejarah Burgerkill yang akan ia tuliskan. Saya sendiri sangat percaya akan kepandaian Ivan dalam menyusun sebuah rancangan naskah. Karenanya, saya memutuskan untuk menunggu Ivan menyelesaikan rancangannya sebelum kepenulisan buku itu digarap bersama-sama. Namun, cita-cita adalah cita-cita. Belum selesai Ivan merampungkan rancangannya, ia keburu dipanggil oleh-Nya. Saya sangat terpukul. Saya merasakan ada satu hal di antara kami yang belum usai. Maka, di detik-detik terakhir hidup Ivan, saya membisikkan sebuah janji di telinga Ivan :”Van, ku aing béréskeun kahayang manéh! Ku aing tuliskeun biografi si Bé-Ka téh! Ku sorangan Van! Manéh boga lakonna!”
Maka inilah janji itu. Sebuah biografi Ivan, Myself : Scumbag Beyond Life and Death. Saya begitu lelah mengerjakannya. Tapi saya juga begitu ngotot menyelesaikannya sampai saya tidak peduli dengan letih itu. Mungkin karena sebenarnya saya tidak sendiri mengerjakannya. Saya dibantu Ivan ‘dari sana’ dalam menuangkan segala kisah dalam biografi ini.
II
November 2006. Bangkit dari shock akibat meninggalnya Ivan ternyata tak segampang yang saya kira. Tak ada yang mudah menyadari orang yang sangat dekat dengan kita telah tiada. Berat dan menyakitkan. Di atas segalanya, mengumpulkan keberanian dalam menuliskan biografi ini adalah proses paling berat yang saya rasakan. Betapa tidak, tokoh yang saya tulis adalah kawan saya, saudara di jalanan yang membangun sebuah komunitas dan scene bersama-sama, sekaligus orang besar yang tetap membumi di tengah kebesarannya. Kami memiliki begitu banyak kenangan terbaik dan terburuk bersama yang kadang begitu sulit saya ungkapkan. Kisah hidupnya yang keras membuat miris dan kadang saya tak berani berempati kepadanya.
Namun saya ngotot. Maka semua berkas yang saya kumpulkan beberapa hari setelah Ivan meninggal dari Mery dan Jimbo mulai saya telaah. Sekali lagi ini bukan sebuah pekerjaan yang gampang karena ketika membaca kata-demi kata dalam syair, puisi, atau goresan gambarnya, Ivan bagai mau menyeret saya agar ikut merasakan betapa gila emosi sepanjang hidupnya. Dan betapa emosi ini menyiksanya seumur hidup, Tapi di sisi lain, mengangkat derajatnya sebagai seniman papan atas karena justru yang emosional inilah curahan hidupnya, kejujuran, dan ekspresi dirinya. Saya juga membongkar kembali dus-dus berisi foto-foto dan buku-buku harian tebal yang sering kami—saya, Ivan dan kawan-kawan Ujungberung Rebels—tulisi bersama sejak masa putih abu hingga tahun 2001an.
Januari 2007 saya mulai menulis. Awalnya saya targetkan terbit April untuk mengejar ulang tahun Ivan tanggal 19 hingga buku yang bagi saya personal ini semakin personal. Tapi sekali lagi, bukan hal mudah meyelami gejolak jiwa Ivan. Saya jadi banyak sakit sendiri dan terbawa-bawa emosional dalam menuliskannya. Kadang saya berhenti di tengah penulisan yang bergejolak dengan napas terengah-engah lelah, atau tanpa sadar air mata menetes. Saat itulah saya harus berhenti. Biasanya saya pergi ke gunung dulu sebelum kembali dapat mengumpulkan energi, keberanian, kengototan saya. Terima kasih kepada kawan-kawan yang mendampingi saya kemping selama penulisan buku ini.
Buku ini awalnya saya rancang tujuh bab. Pada kelanjutannya satu bab berjudul ”Jatinangor Blues, Purnawarman Fever” saya pecah menjadi tiga bab : “Tattoed Everything”, mengisahkan meninggalnya ayah Ivan, “Jatinangor Blues, Dua Sisi”, mengisahkan masa kuliah Ivan dan album Dua Sisi, dan “Purnawarman Fever”, mengisahkan Ivan ketika di Purnawarman. Pemecahan ini karena saya rasakan kurangnya eksplanasi histories dan pendekatan psikologis yang saya bangun sehingga hasil penulisan terasa datar. Saya juga kemudian menambahkan satu bab pendek sebagai penutup. Bagian yang sulit dari buku ini adalah menuliskan bab pertama, bab “Berkarat”, “Beyond Coma and Despair”, dan “The End”. Hal ini karena sulitnya saya berempati atas gaya hidup Ivan yang tidak jelas, penuh diwarnai gejolak emosi yang tidak stabil, penggunaan drugs yang berlebihan, serta penyakit yang mendera tubuh dan jiwanya. Namun di atas segalanya, bagian tersulit dalam penulisan buku ini adalah bagian “The End” yang mengisahkan awal jatuhnya kondisi Ivan hingga ia meninggal. Bab ini tak sebanyak bab-bab yang lain tapi melibatkan emosi yang dalam di jiwa saya. Sering saya tak kuat dan berhenti menulis. Lalu saya teruskan lagi sedikit, lalu berhenti lagi. Lebih dari dua bulan saya bereskan bab ini, walau Mery yang berada di samping Ivan selama masa ini hingga akhir hidupnya, begitu banyak membantu saya, bahkan menuliskan kesan-kesannya agar saya jauh lebih mudah mengolah kata-kata. Kendala saya adalah saya tak sanggup menggambarkan kesakitan Ivan dengan kata-kata. Sepertinya tak ada kata-kata yang dapat mewakili perasaan Ivan dan saya mentok. Saya yang semakin tak sangggup akhirnya hanya mengcopy-pastekan saja tulisan Mery. Dan itu menurut saya lebih mewakili semua tulisan yang saya rangkai. Bab lain yang tak kalah sulit adalah bab pertama. Bab ini baru selesai saya tulis setelah dummy pertama beres diedit oleh Ojel, editor saya. Saya menulisnya secara spontan dalam waktu kurang dari setengah jam. Saya tak mau mengulang-ulang lagi dan hasil tulisan saya untuk bab satu tak pernah saya lihat lagi. Saya, dalam hal ini percaya sebuah spontanitas. Begitu pula bab terakhir. Saya menuliskannya lebih singkat. Mungkin hanya sepuluh menit, ketika semua bab telah usai dilayout oleh Popup. Sekali lagi, saya percaya dengan spontanitas.
III
25 Agustus 2007 naskah sebetulnya sudah beres dan karenanya, saya, Popup, dan Ojel memutuskan untuk liburan ke Kutoarjo dan Jogja sambil menghadiri pernikahan BobYudo&Monik-forever partner dan sahabat terbaik MinorBacaanKecil. Pikir kami sekalian liat-liat kondisi di Kutoarjo-Jogja, sekalian promo dan buka jaringan distribusi. Sepanjang perjalanan saya baca buku Heavier Than Heaven, biografinya Kurt Cobaim dan saya membandingkan dengan biografi Ivan. Wah! pikir saya. ternyata banyak hal lolos dalam penulisan biografi Ivan. Saya memutuskan untuk kembali menggarap naskah sepulang tur Kutoarjo-Jogja. Selama dua minggu saya tak keluar rumah. Konsentrasi penuh pada revisi hingga akhirnya beres dan saya kembali menghubungi Popup untuk segera melayout naskah terbaru. Untunglah Pak Dosen Popup punya kelihaian yang mumpuni. Dengan cepat ia membereskan layout. Namun dasar saya! Ada saja yang saya robah hingga tata letak penuh footnote yang sangat menyulitkan itu berkali-kali robah pula.
Akhirnya, proses layout yang lumayan panjang selesai tanggal 29, 30 September, serta 1 Oktober 2007. Beberapa minggu sebelum layout selesai, Gustaff yang saya minta menuliskan “Afterwor(l)d” untuk buku ini mengirimkan tulisannya dan itu menjadi cambuk buat saya dan kawan-kawan untuk segera membereskan buku ini. Gustaff bukan orang baru dalam proses penyusunan buku ini. Beberapa minggu setelah meninggalnya Ivan dan ucapan ikrar saya untuk menuliskan kisah hidupnya, saya menemui Gustaff di Commonroom. Kepadanya saya mengutarakan niat itu. Bisa dikatakan ia termasuk orang pertama yang tahu akan niatan saya, selain istri saya, anak saya, Mery, Jimbo, Eben dan Burgerkill yang lain, Yayat, Addy Gembel, serta Deni dari Lawangbuku. Gustaff sangat mendukung. Dukungannya memacu saya, membesarkan semangat saya. Dan saya sangat berterima kasih atas itu. Karenanya, saya lalu memutuskan untuk memberikan penghormatan kepada Gustaff untuk menuliskan sepatah kata dalam buku Myself : Scumbag….
Asalnya saya akan meminta sahabat saya Addy Gembel untuk menuliskan kata-kata di “Afterwor(l)d”, namun sepertinya ada beberapa ketidaksesuaian mengenai visi mendasar dalam penulisan buku sejarah ini. Saya terpukul dengan pernyataannya yang dimuat secara luas di Majalah Ripple mengenai komersialisasi Ivan atau pendewaan yang berlebihan. Tidak, Dy! Sama sekali ini bukan komersialisasi atau pemitosan. Bagi saya ini personal. Entah bagi Addy yang memandang dari sisi sosialis atau kapitalis atau paham-paham yang sama sekali tidak saya mengerti. Sempat saya akan membalas tulisan sahabat saya tersebut, namun saya kira energi saya terlalu kecil dan akan habis jika saya menggulung-gulung hal-hal yang itu-itu saja. Maka saya segera melupakan kekecewaan saya dan memulai proses menulis. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Lagi pula, ketika saya pikirkan matang-matang dan positif, ternyata kritikan dari Addy lalu menjadi dasar pemikiran penerbitan buku ini : keluar dari sisi komersialisasi yang kini marak meruak di ranah penerbitan dan menghancurkan ideologi serta idealisme seorang penulis dalam menulis. Saya lalu memandang kritikan itu sebagai rasa sayang seorang sahabat kepada sahabat lainnya, atau kekecewaan mendalam dan rasa rindu atas sebuah kehilangan seorang sahabat. Tiba-tiba, saya merasa semakin dekat dengan Addy Gembel…
Sementara itu, untuk cover buku, awalnya saya memiliki beberapa opsi. Akan diambil dari artwork Ivan, atau meminta tolong kepada Eben, Asmo, BobYudo, atau kepada kawan saya Azizah melukiskan wajah Ivan. Namun akhirnya karya Eben datang pertama kali dan saya langsung jatuh cinta melihatnya. Lagi pula Eben dari awal memang sudah menegaskan jika ia akan membantu apa saja yang sekiranya dapat ia Bantu selama ia mampu. Dari desain covernya saja saya tau dia sangat berasungguh-sungguh.
Masalah lainnya yang lalu harus saya pikirkan adalah biaya. Banyak pihak yang lalu menyarankan agar saya minta saja kepada Burgerkill, toh, ini adalah biografi Burgerkill juga. Saya tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Saya sangat tidak setuju jika karya ini mengenai Burgerkill walau saya akui, saya mengambil periodisasi hidup Ivan dari karya-karya Burgerkill. Sekali lagi ini karya personal dan saya tak mau merepotkan Burgerkill, walau dalam kenyataannya, mereka dengan sangat luar biasa mendukung dan membantu saya selama proses penggarapan biografi ini. All hail Burgerbrothers! Maka untuk sponsor saya mencoba mengotak kawan-kawan lama. Saya mendapat dukungan dari Chronic Rock, Scumbag, Commonroom, Eat, 347, www.burgerkillofficial.com
, Dis.tribute dan Yayasan Adikaka-nya, Obscene, Godinc., Omuniuum, Migraph, dan Arena Experience. All hail ya!
Maka inilah buku Myself : Scumbag Beyond Life and Death. Saya persembahkan buku ini untuk semua kawan-kawan Ivan dan juga begundal disertai sebuah penggalan kalimat dari Omar Khayyam yang dimuat dalam buku Samarkand sebagai pembuka salah satu bab : “Bangkitlah! Untuk tidur terenatang keabadian di depan kita!” Dan memang, Ivan yang begitu jarang tidur tahu banget kalau hidup adalah untuk tetap bangkit—istilah Johnny SID : ‘berdiri tegak menantang!’ dan terus berkarya, sampai akhir hayat.
Selamat membaca, Semoga karya ini mengispirasi dan semakin menumbuhkan minat baca dan tulis, hingga budaya menulis kita semain maju, tak kalah berdampingan dengan tradisi lisan kita yang luar biasa! Kabarnya ini adalah penulisan pertama tokoh lokal. Whaddahell! Ini adalah persembahan paling pribadi saya buat Ivan : sahabat saya, pejuang yang paling patut mendapatkan sebuah penghormatan dari kita semua! All hail Scumbag!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar