Rabu, 08 September 2021

Review: Burgerkill- Dua Sisi (Album, 2000

Bandung kerap kali dikenal sebagai penghasil band-band keras jempolan di masa berjayanya musik underground di sekitar medio ‘90-an. Terlebih, kota dengan julukan Kota Kembang ini juga sempat menjadi arena tempat berlaganya musik arus pinggir dengan minat termasif yang pernah dicatat sejarah musik dalam negeri lewat berbagai helatan yang terselengara di kota tersebut.

Ujungberung menjadi salah satu rumah tempat lahirnya band-band tersebut. Tak terkecuali nama Burgerkill yang besar di sana. Mengawali langkahnya di tahun 1995, lima tahun setelahnya  mereka pun mengenalkannya secara utuh (sebelumnya sempat melepas beberapa isinya melalui berbagai kompilasi) mahakarya hardcore sekaligus debut album penuh dengan tajuk Dua Sisi (2000). 

Dua Sisi adalah salah satu artefak hardcore terpenting di kancah lokal. Sebelum kemudian mereka memuntahkan legacy selanjutnya melalui Berkarat (2003), album ini rasanya menjadi rilisan vital yang membangun pondasi konsistensi mereka (baik dalam musik maupun spirit)  hingga hari ini.

Formasi klasik berisikan Ivan ‘Scumbag’ Firmansyah (vokal), True ‘Eben’ Megabenz (gitar), Iman Rahman Anggawiria Kusumah alias ‘Kimung’ (bas), dan Toto Supriatin (drum) merakit berbagai suara yang kala itu masih banyak dipengaruhi oleh beragam senyawa hardcore. Mulai dari New York hardcoreEuropean hardcore, hingga old school hardcore.

Di bawah bendera Riotic Records milik Dadan Ketu (saat ini manajer Burgerkill), mereka memadati Dua Sisi dengan muatan 12 trek berisikan; “Heal The Pain”, “Revolt”,”Let’s Fight”, “M.T.P.M”, “Hancur”, “Sakit Jiwa”, “My Self”, “Rendah”, “Homeless Crew”, “Blank Proudnes”, “Everything Sux!”, serta trek cover “Guilty Of Being White” milik Minor Threat

Album ini sempat di-re-issue oleh Sony Music pada tahun 2005. Namun, kali ini “Guilty Of Being White” harus dihapuskan karena urusan izin. Konon, pihak Minor Threat hanya mempersilahkan lagunya dipakai dalam koridor independen. Sehingga mereka pun menggantinya dengan “Everlasting Hope Never Ending Pain”. 

Jika saya, sebagai generasi streaming menikmatinya hari ini melalui layanan musik digital, mungkin nomor ke-12 (baik “Guilty Of Being White” atau “Everlasting Hope Never Ending Pain”) tidak pernah termuat. Beruntung mereka yang berhasil mengamankan rilisan fisiknya jauh-jauh hari sebelum saya menyadari bahwa album ini brilian. Meskipun sebenarnya, trek tersisa pun bisa dibilang lebih dari cukup.

Dua Sisi hampir tak memberikan celah bagi pendengar untuk tidak ikut merasakan kemuakan yang mereka lepehkan dengan tingkat agresivitas di atas rata-rata band hardcore lokal sejawatnya. Sebagai salah satu bentuk dari upaya counter-culture arus utama yang (saat itu dan memang selalu) membosankan, tentu album ini dinilai cukup revolusioner dalam menyampaikan spirit hardcore kepada publik.

Dua Sisi tentu sangat layak dimasukan dalam deretan album hardcore lokal terbaik. Bahkan setelah dua dekade pasca perilisannya. Spirit yang akan terus mengalir dari generasi pembangkang terdahulu ke generasi pembangkang selanjutnya. Sehingga kurun waktu tak lagi berlaku dan akan digantikan dengan kata “sepanjang masa”.