Jumat, 25 Oktober 2019

Burgerkill Siap 'Hajar' Amerika Lewat 'Adamantine American Tour 2019'

14 kota, 16 titik pertunjukan.

Kurang lebih 24 tahun lamanya, unit metalcore asal Bandung, Burgerkill terbentuk. Dan selama itu pula, band yang kini diperkuat oleh Eben (gitar), Agung Hellfrog (gitar), Vicky (vokal), Ramdan (bass), dan Putra Pra Ramadhan (drum) terus bergerak dan tak berhenti berinovasi.

Segala rintangan dan tantangan selama ini telah dihadapi dengan jawaban sebuah karya yang selalu beda di tiap albumnya. Terbukti semangat tersebut membawa Burgerkill menembus beberapa festival musik cadas bergengsi dan legendaris dunia seperti Soundwave Fest 2019, Big Day Out 2010 di Australia, Wacken Open Air 2015 dan mendapat Golden Gods Awards kategori ‘Metal As Fu*k’ dari majalah musik ternama Inggris, Metal Hammer.

Di tahun 2018 lalu, Burgerkill pun menggelar tur panjang ke beberapa tempat di benua Eropa, Asia, Amerika dan negara Australia. Sayangnya, saat ingin tampil di benua Amerika tertunda karena masalah legal.

Tahun 2019, mimpi Burgerkill terus berlanjut seiring promo album teranyar ‘Adamantine’, akhirnya mereka akan menghajar ‘jalanan’ 14 kota negara bagian Amerika Serikat dengan 16 titik venue.

Yups, Burgerkill dipastikan bakal beraksi dan membuat panas penikmat musik cadas di Amerika Serikat mulai 16 – 31 Oktober 2019 dalam rangkaian ‘Adamantine American Tour 2019’. Dalam pertunjukan mendatang, Burgerkill akan ditemani oleh band Indonesia yang sudah dinaturalisasi bernama Suaka.

Bagi teman-teman yang berada di Amerika Serikat, bersiap deh kunjungi venue ‘Ademantine American Tour 2019’ Burgerkill. Untuk informasi lebih lengkap langsung aja kepoin sosial media @burgerkillofficial.

Senin, 21 Oktober 2019

Album Review Dead Vertical XVII

Bertahan selama 17 tahun dalam belantika musik underground di Indonesia bukanlah perkara mudah, jadi pantas lah salah satu unit grindcore paling berbisa ibu kota, DEAD VERTICAL merilis sebuah album selebrasi karir mereka yang bakalan genap delapan belas tahun pada bulan November besok. Sepanjang karirnya grup musik yang dimotori oleh Boy, Bonz, dan Arya tetap stay trve menggerinda jiwa dan raga penggilanya di penjuru tanah air dengan modal repertoire dari diskografi mereka yang mentereng, bodo amat dengan tren musik yang digemari anak muda tanah air yang datang dan mati silih berganti, DEAD VERTICAL tetap setia dalam jalurnya menyiarkan musik ngebut tanpa basa-basi terinspirasi senior mereka di benua seberang laut sana seperti TERRORIZER, NAPALM DEATH, NASUM dan MISERY INDEX.

    Tapi mereka bukan hanya sebuah monolith yang mengandalkan amunisi yang ituitu saja, setiap album penuh yang DEAD VERTICAL lontarkan sudah pasti menawarkan nuansa baru, warna baru dan pengaruh musikal baru, memang kadang hal baru yang diperkenalkan bisa membuat fans berat mereka keder apalagi di kalangan grindcore puritan, seperti pada Perang Neraka Bumi (2011) yang menukarkan lagu-lagu kritik sosial pedas dalam lagu berdurasisatu-dua menitan membabi buta dalam Infecting The World (2008) dengan atmosfir kelam keliaran medan perang terinspirasi unit Death metal legendaris BOLT THROWER dikemas dalam gaya deathgrind modern penuh kocokan, betotan dan gebukan ngethrash dan kadang groovy ala SEPULTURA. Angkasa Misteri (2016) yang dirilis lima tahun setelahnya yang lebih banyak membahas tema-tema personal namun masih ugal-ugalan tidak terlalu banyak mengubah blueprint dari ‘Perang Neraka Bumi’.

    Pada album ke-5 sepertinya tidak mau ribet-ribet mencari judul album yang tepat, cukup dengan angka tujuh belas dalam angka romawi ‘XVII’, penamaan tersebut juga pas mengingat kumpulan lagu kali ini merupakan sebuah album selebrasi perjalanan grup musik ini dari semenjak dulu dibentuk pada tahun 2001, Bekerja sama dengan BlackAndje Records, DEAD VERTICAL memuntahkan tujuh belas track beringas (ditambah satu hidden track) yang menggambil segala elemen yang mereka tulis semenjak Fenomena Akhir Zaman (2001) dan merangkumnya kedalam lagu-lagu in your face yang mampu membakar sound system anda sekalian, ‘XVII’ bisa dibilang album semi back to the roots bagi DEAD VERTICAL, mengembalikan lagi komposisi ngegass poll ala Infecting The World, bukan berarti mereka lupa dengan perkembangan kamus bermusik mereka selama satu dekade terakhir.

    Layaknya sebuah perjalanan karir semakin kebawah lagu yang disajikan menunjukan evolusi musik DEAD VERTICAL dari nomor-nomor awal yang lebih straightforward ke pertengahan album yang berisikan materi yang lebih kompleks dan teknikal, walau tetap dalam durasi yang dibatasi satu-dua menitan hingga sisi eksperimental trio ini dalam lagu instrumental ‘17+’ yang menampilkan style Industrial metal layaknya GODFLESH dan NINE INCH NAILS, dari segi kontek lirik yang disemburkan kali ini Boy kembali lagi banyak membahas permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat sekarang, mulai dari intoleransi, penyebaran kebohongan/pembodohan yang makin menjadi-jadi, kritik terhadap manusia sekarang yang terlalu terkekang dengan teknologi era modern, hingga ‘Bulungan Bergetar’ lagu anthemic pembakar massa yang bisa jadi theme song Bulungan Outdoor setiap ada acara.

    Turut mengundang teman seperjuangan untuk berpesta bersama yaitu Daniel Mardhany (DEADSQUAD) pada ‘Doktrinator Terror’. Bagi yang sudah menunggu-nunggu album terbaru DEAD VERTICAL dari kemarin sudah pasti bakal terpuaskan dengan ‘XVII’, apalagi dengan materi lagu-lagu kali ini yang langsung menginjak pedal gas tanpa kasih kendor semenjak detik pertama, langsung nampol tanpa perlu piker panjang dan langsung bikin ngos-ngosan ketika track terakhir selesai berkumandang. Baitbait berbisa dan riff yang disajikan Boy tetap berbahaya dan catchy beudh, saya yakin betul lagu ‘Bloody Roads’ misalnya yang main riff nya rada MEGADETH-esque tak perlu waktu lama untuk membuat pendengarnya ngangguk-ngangguk, begitu juga bassline dari Bonz yang siap siaga mencabik-cabik rambut telinga, dan jangan ditanya kegaharan Arya dalam membabat setiap bar dengan gebukan-gebukan mautnya. Sebagai sebuah perayaan ‘XVII’saya sudah berhasil menghasilkan pesta liar yang gak bakal membuat pendengarnya mengeluh sama sekali, kecuali anda tetangga sebelah yang bakal ngamuk kalau tengah malam pun anda masih memutar album ini kencangkencang, jadi hati-hati saja jangan sampai di satroni pak RT nanti.

Jumat, 18 Oktober 2019

JASAD Finally release new Album

Album yang ditunngu penggemar band brutal death asal kota kembang Bandung ini akhir nya release pada 29 Sept lalu. Album yang bertitile “5” yang sudah banyak di nanti para fans Jasad di release oleh rottrevore records dan di distribusikan oleh extremesouls production. Jasad menggelar launch album 5 di acara hearing sessions first day selling di Bandung jawabarat. Banyak response positive dari album baru band yang sudah go international ini datang dari penggemar death metal nusantara.

Sabtu, 16 Maret 2019

Mini Album Review: Revenge The Fate - 'Awakening'

Berjeda empat tahun pasca Redemption, Revenge The Fate akhirnya menelurkan sebuah mini album dengan tajuk Awakening. Terdapat lima buah lagu yang disertakan, termasuk "Paranoid" yang sudah dirilis terlebih dahulu. "Siapa yang hari ini tidak kenal Revenge The Fate?" Jika pertanyaan ini dilontarkan sekitaran tahun 2009-2013, sepertinya akan banyak yang mengacungkan jari, meski sebenarnya mereka resmi terbentuk di tahun 2009. Nama mereka total melejit setelah merilis album perdananya, Redemption di tahun 2014. Album ini yang mengantarkan mereka ke jajaran grup musik dengan penggemar paling banyak, bisa juga dikatakan sebagai band yang "memperkenalkan" deathcore dengan lebih luas. Meski pasti ada band yang memainkan musik deathcore sebelum Revenge The Fate (di Indonesia), rasanya kita perlu mengakui bahwa merekalah yang membuat istilah tersebut menjadi lebih familiar di telinga pendengar musik cadas. Selain karena Redemption menawarkan hal baru di tengah musik ekstrim, mereka juga mengemas pesta perilisannya dengan cerdik, di mana mereka merayakannya dalam format festival dan mengundang beberapa kawan band yang sudah "punya nama" di ranah musik independen, seperti Burgerkill, Jasad, Rosemary, Don Lego dan lain-lain. Hal ini berdampak pada kemudahan penyebaran informasi, mengingat band-band (selain Revenge The Fate) tentu mengundang banyak massa yang pada akhirnya juga turut "sadar" tentang hadirnya Revenge The Fate, tanpa mengesampingkan pesona dari Revenge The Fate itu sendiri. Pasca Redemption, Revenge The Fate beberapa kali menelurkan karya. Yang terbaru adalah sebuah EP dengan titel Awakening, dirilis pada 10 November 2018. Mereka kemudian menyelenggarakan pesta perilisan tanggal 2 Desember 2018 di Spasial, Bandung tanpa mendapat "amunisi tambahan" seperti yang mereka lakukan empat tahun silam. Mereka lah yang menjadi penguasa panggung, berinteraksi langsung dengan Colony. Ternyata, hari ini mereka memang sudah membentuk pasarnya sendiri. Menjadi satu-satunya band yang tampil tidak serta merta membuat area depan panggung menjadi kosong, karena jumlah sekaligus loyalitas dari Colony sudah semakin menguat. Tapi, bukan tentang penyelenggaraan konser tunggal yang akan menjadi fokus di sini. Mari kita membahas tentang karya Awakening, sebuah bentuk pengejawantahan tentang bangkitnya Revenge The Fate setelah menghadapi dinamika, salah satunya ketika Cikhal tak lagi ada dalam tubuh Revenge The Fate. Kehadiran Mow dan Gery di lini gitar tentu memengaruhi bagaimana materi Revenge The Fate terkini, tanpa mengesampingkan peran personil lain yang tetap bertahan. Jadi, bagaimana hasilnya kali ini? Terdapat lima buah lagu dalam Awakening, yaitu "Katarsis", "Frail", "Continuous", "Enormity" dan "Paranoid". Dari lima buah lagu ini, satu yang sudah saya dengar sebelum konser tunggal adalah "Paranoid", dan lagu ini total mengubah pandangan saya tentang Revenge The Fate. Ibarat kata, mereka semacam me-redefinisi deathcore, "meningkatkan" level deathcore di Indonesia. Sejak itu, saya merasa wajar untuk menganggap bahwa karya lainnya dalam Awakening amat menjanjikan. "Katarsis" menjadi track pertama pada EP ini. Sejak petikan gitar beserta efek dimainkan di awal lagu, atmosfer yang gelap kontan terbangun. Tak lama setelahnya, instrumen lain turut menghantam kencang, saling tumpang tindih menciptakan musik yang rapat. Anggi, yang lebih memilih mendominasi vokal dengan teknik growl berperan besar dalam memperkuat nuansa yang sejak awal sudah dibangun. Sisipan melodi gitar yang rumit dan latar suara yang diciptakan dari sampling juga ambil bagian. Belum lagi, permainan instrumen drum yang memberondong sepanjang lagu membuat "Katarsis" jelas membuka Awakening dengan sajian yang penuh nutrisi. Tak jauh berbeda di track kedua, "Frail". Meski secara tempo tidak secepat "Katarsis", namun tetap lagu ini membuat panas telinga. Pola permainan break down di tengah lagu dan sedikit jeda menuju akhir lagu semacam memberi ruang untuk kita bernafas sejenak. Tidak untuk waktu lama, karena Revenge The Fate jelas tidak berniat untuk memberi ampun. Lagu ketiga adalah "Continuous". Semacam jadi "peringatan", teror sejak lagu sebelumnya memang dilanjutkan di sini. Seperti dua lagu sebelumnya, lagu dibuka dengan harmonisasi gitar dan disambut riuh permainan instrumen lain. Nada-nada berat dan rendah berkat senar tujuh dan delapan pada gitar dan senar lima pada bas yang dipakai terdengar jelas. Melodisasi gitar juga kembali terdengar di tengah lagu, memainkan nada-nada minor yang ditonjolkan dengan dilatari suara sang vokalis yang sedang merapal. Sedikit banyak, "Continuous" mengingatkan pada karya Revenge The Fate di album sebelumnya. Hanya saja, kembali lagi, Awakening menawarkan sesuatu yang baru, memperlihatkan kapabilitas Revenge The Fate yang makin matang. Lagu selanjutnya adalah "Enormity". Pada track ke-empat ini, dinamika Revenge The Fate makin terdengar. Di tengah lagu, mereka menyisipkan pola vokal macam choir, paduan dari clean vocal dan teknik throat singing, memberi sedikit kemungkinan untuk bisa dinyanyikan oleh para Colony ketika menyaksikan Revenge The Fate tampil secara live. Suara kibor yang minor juga sarat terdengar pada lagu ini, makin membangun citra seram dan horor. Tempo yang dinamis juga disajikan dengan sangat apik dalam lagu ini, nyaris tanpa cela. Awakening ditutup oleh "Paranoid". Sekali lagi, inilah lagu yang membuat saya berharap banyak pada Awakening. Nyatanya, bisa dibilang saya memang tidak salah kira. Lagu ini semacam menjadi spoiler bahwa banyak eksplorasi baru yang bisa kita temukan pada materi terbaru Revenge The Fate. Para personil semacam tak ragu-ragu untuk saling unjuk kemampuan, makin berani untuk "bermain-main" dan "bersenang-senang". Setiap bagan dan permainan musiknya benar-benar menunjukan bahwa penggarapan materi teranyar Revenge The Fate memang diramu sedemikian rupa, tidak menjadi EP yang "sekadar jadi". Jika boleh memberi predikat, saya rasa Awakening adalah salah satu album mini terbaik di tahun 2018. Memang sudah sepatutnya Revenge The Fate "menyelamatkan diri", karena hari ini deathcore sudah jadi pilihan banyak orang untuk membuat karya dan mereka pun tidak kalah berkualitas. Kehadiran Mow dan Gery nyatanya memberi efek yang total positif untuk Revenge The Fate. Standarisasi Revenge The Fate menjadi makin tinggi lewat Awakening, dan tugas mereka ke depannya menjadi semakin berat. Haram hukumnya jika mereka berpuas diri dengan Awakening, karena dengan ini para Colony pasti menantikan sesuatu yang makin berbahaya dari Revenge The Fate. Jangan sampai tidak mendengarkan Awakening! Silakan nikmati dan perkaya nutrisi dengan lima materi yang padat gizi ini. Tapi, harap diingat bahwa seluruh materi dalam Awakening sangat bising dan melelahkan. Jika kamu tidak sanggup menikmati musik macam ini, kalian masih punya seabrek band pop punk untuk jadi pilihan. https://youtu.be/FeqDTHAheZ4