Senin, 01 Oktober 2012

Soundwaves: Eben Burgerkill: We Will Bleed


image
Eben Burgerkill (Foto: Ludmila Gaffar)
Jakarta - Hidup Ivan itu tidak baik-baik saja. secara mental dia banyak memiliki tekanan, dari sisi fisik pun dia punya banyak masalah dengan sakitnya. Itu dia tanggung di sepanjang sisa hidupnya. Jadi kalo pun akhirnya dia pergi, ya saya pikir itu adalah salah satu media untuk bisa membebaskan dia..” - @AddyGembel (Forgotten)

Itu adalah cuplikan adegan dari bab meninggalnya Ivan ‘Scumbag’ Firmansyah, vokalis berkharisma yang harus pergi selama-lamanya ketika karier bermusiknya baru saja memasuki sebuah fase baru. Fase matang yang semenjak dulu dia impikan dan perjuangkan dengan kerja keras bersama band yang sangat dicintainya, namun tak bisa lagi dia nikmati hasilnya. Tragis memang. Sebagai teman dekat yang sering berbagi cerita dengan Ivan, sudah tentu kejadian ini memukul mental saya dengan telak. Jujur, saat itu saya sempat berpikir untuk tidak lagi bermain dan pensiun dari dunia musik, terlalu banyak beban dan pertanyaan di kepala saya untuk bisa kembali. Sepertinya mustahil melanjutkan semuanya tanpa ada Ivan di sebelah saya.

Akhirnya setelah susah payah melewati masa duka, saya menemukan titik di mana saya harus belajar ikhlas dan berpikir lebih baik ke depannya. Momen kepergian Ivan ini memberi saya ide dan semangat baru untuk mulai menggarap film dokumenter We Will Bleed, yang sudah hampir lima tahun ini saya kerjakan. Film berdurasi kurang lebih 90 menit yang berisi berbagai cerita dari perjalanan panjang band superkeras asal pinggiran kota Bandung, Ujungberung. Band yang tidak pernah menyerah mengejar mimpi-mimpi gila untuk bisa meraih dunia melalui musiknya. Band yang telah lebih dari 17 tahun selalu memberi energi positif dan mengajarkan banyak cara bertahan hidup berdampingan dengan berbagai idealisme yang dianut oleh saya dan teman-teman di Burgerkill.

Awalnya saya hanya ingin membuat film pendek tentang di balik layar sesi rekaman album Beyond Coma And Despair, dengan banyaknya footage Alm. Ivan saat proses penggarapan album terakhirnya bersama Burgerkill. Sampai akhirnya ide saya bergeser ketika menemukan banyak kaset video berbagai format di laci lemari arsip, antara lain 289 kaset MiniDV, sembilan kaset VHS, puluhan file video berbagai format, dan ratusan foto dari era awal band ini berdiri, yang wajib saya konsumsi satu persatu sebagai bahan utama dalam susunan alur film ini. Butuh waktu lama dan keterampilan khusus untuk bisa melakukannya. Sempat terpikir untuk melibatkan pihak lain dan membayar mereka untuk mengerjakannya, tapi keterbatasan dana menjadi ganjalan utama. Akhirnya saya nekat mengerjakannya sendiri dengan minta bantuan beberapa teman dekat.

Target pengerjaan tiga tahun terpaksa harus molor karena berbagai masalah berbau teknis yang tidak jarang bikin hilang semangat. Contohnya, ketika film ini sudah selesai, tiba-tiba hampir 70% external hardisk yang saya gunakan sebagai pusat penyimpanan data crash karena tegangan listrik yang anjlok dan mati. Gilanya, setelah dicek, hampir 90% sumber data film hilang dan tidak bisa lagi diselamatkan.

Hingga hari ini banyak yang bertanya di akun Twitter @burgerkill666 : “Kapan film ini dirilis? Kenapa penggarapannya lama sekali?“ Rasanya saya atau siapapun yang ada di band ini juga tak tahu harus menjawab kapan dan kenapa. Terlalu panjang untuk diceritakan, tapi yang jelas, membuat film dokumenter band tidak sesederhana yang dibayangkan, apalagi ini band saya sendiri. Tak jarang perasaan personal saya ikut terbawa. Selain itu, minimnya pengetahuan saya dalam hal pembuatan film dokumenter juga menjadi salah satu faktor. Tapi bagaimanapun juga, ini film pertama saya. Hanya tekad bulat dan semangat menembus keterbatasan yang menjadi nutrisi saya untuk menyelesaikannya.

Untungnya ada satu hal yang saya suka dari Burgerkill. Sejak awal band ini memang memiliki banyak dokumentasi, apapun bentuknya. Mulai dari cerita unik awalnya berdiri, lalu menjadi band hardcore pertama di Indonesia yang bernaung di major label, ditambah kepergian mendadak sang vokalis di tengah proses peluncuran album baru, jadi bagian penting dari film ini. Selain itu pencapaian bisa bermain di Soundwave dan Big Day Out Festival, Australia, bersama band-band metal internasional juga menjadi materi pelengkap di filmWe Will Bleed ini.

Selain dikerjakan secara DIY (do it yourself), film ini juga digarap dengan peralatan yang seadanya tanpa ditunjang oleh kamera film profesional. Bahkan beberapa footage yang digunakan di film ini berasal dari kamera digital atau kamera ponsel biasa. Tapi saya tetap mempergunakannya selama footage itu masih dalam kondisi baik. Ada beberapa hal yang saya pelajari selama proses ini, salah satunya adalah jangan pernah menganggap remeh sebuah dokumentasi. Hal sepele yang terkadang dilupakan oleh kita ternyata bisa bercerita banyak suatu hari nanti ketika kita sangat membutuhkannya.

Hal paling penting yang saya pelajari dari film ini adalah tidak ada mimpi besar yang dapat diraih tanpa kerja keras dan kebesaran hati dalam menghadapi segala macam prosesnya. Kemenangan terbesar adalah ketika kita mampu menyelesaikan suatu hal yang menurut orang lain tak mampu kita lakukan. Semoga film We Will Bleed ini dapat dinikmati dengan baik dan memberikan energi positif kepada siapapun yang telah mengenal dan menjadi penikmat setia agresi musik Burgerkill. Film ini adalah hadiah spesial untuk mengenang jasa besar seorang sahabat yang telah mendedikasikan hampir separuh hidupnya untuk Burgerkill. This is for you, dude. Rest In Peace m/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar