Senin, 25 Februari 2013

Jangan Ragu Jadi Musisi Metal

TULISAN INI BUKAN MURNI OPINI SAYA. IBARAT KAMERA, OTAK DAN JARI SAYA HANYA BERTINDAK SELAKU REFLEKTOR. SEKADAR MEMANTULKAN APA YANG SAYA SIMAK DENGAN SEDIKIT MEMBERI BIAS DI SANA-SINI DARI. ILHAMNYA SENDIRI MUNCUL DARI HASIL MELOTOTIN STATUS CHE, VOKALIS CUPUMANIK. SEPERTI BIASA, JANGAN TERLALU DIMASUKAN KE HATI. WOLES SAJA. SEBAB, INI BUKAN MASALAH PENTING. DA EUWEUH DEUI URUSAN NU LEUWIH PENTING — MEMINJAM ISTILAH KAJUL HELLPRINT — TIBATAN LALAJO PERSIB. SAYA selalu merasa beruntung bisa mengakses beberapa referensi penting, kadang bahkan secara prodeo alias cuma-cuma. Seperti Selasa (26/11) kemarin. Indera penasaran saya langsung bereaksi ketika Mang Dinan, artworker kugiran dari The Illuminator, ngetag beberapa cuplikan Majalah Metal Hammer edisi Desember 2012 yang membahas tentang skena tempat kita menarik napas. Sumpah, Metal Hammer adalah salah satu kitab haluan hidup saya. Saya selalu merasa bagaikan butiran-debu-yang-tak-tahu-arah-jalan-pulang tiap kali membaca majalah ini. Baik dari segi kemasan/artistik dan terlebih cara mereka mengupas sesuatu. Sangat influensif dan tentu saja referensif pula (anjirrr, istilah naon deuih eta). Jika suatu saat punya duit, saya punya cita-cita mau bikin majalah underground dengan kemasan menyerupai Metal Hammer. Karena penasaran, siangnya saya langsung cabut ke kantor Kompas. Seorang kawan yang jurnalis harian ini biasanya membeli Metal Hammer secara berkala. Dan, alhamdulillah dia sudah punya edisi Desember. Tadinya, jika teman itu belum punya, saya mau merapat ke Common Room. Siapa tahu Mang Dinan masih baca majalah itu di sana dan saya bisa minjem barang sebentar. Hahahaha… katingali aing teu mampu meuli majalah! Saya tidak terlalu tertarik dengan ulasan lain. Saya interes dengan review tentang skena metal Indonesia. Tapi, yah seperti ekspektasi sebelumnya, tidak banyak hal baru. Ulasan seperti itu sudah sering saya temukan. Termasuk ulasan tentang Burgerkill. Bedanya, yang satu ini dikemas dalam bahasa Inggris dan yang membahasnya bukan media kelas ecek-ecek. Metal Hammer, mabrohhh! Meski demikian ada beberapa poin yang tetap menarik. Salah satunya quote dari Ebenk Burgerkill di halaman 72: “My father keep asking me to get a different job, but I don’t care about money.” Sebuah kalimat yang sangat bombastis, saya kira. Boleh jadi Ebenk bisa bicara seperti itu karena ia telah sukses bersama Burgerkill. Secara langsung atau tidak, Burgerkill telah mengantarnya mencapai kesuksesan hidup. Dulu Ebenk boleh tidak peduli dengan uang, tapi sekarang uang sangat peduli dengannya. Tapi lepas dari itu, kalimat tersebut memang layak dijadikan trigger buat siapa pun yang saat ini menapakkan kakinya di skena metal, terutama buat mereka yang tengah merajut mimpi dengan jadi pemain band. Bahwa, mencari kehidupan — dengan tolok ukur paling gampang: duit — tidak hanya sekadar bisa dikais dengan bekerja kantoran. Bahwa, ada jalan hidup lain yang bisa kita andalkan untuk menghidupi diri sendiri, lalu kemudian anak istri, dan bahkan kalau mungkin memberdayakan lingkungan kecil kita. Dan ucapan Ebenk yang jadi quote Metal Hammer terasa memiliki benang merah dengan celotehan Che di dinding facebook pribadinya. Che menukil cerita sukses NOAH saat konser di Makassar yang harga tiketnya mencapai dua juta perak dan ternyata tetap laku goreng bak kacang keras. “Level dunia pertunjukan band di Indonesia sudah meningkat. Harga tiket konser NOAH mencapai Rp 2 juta. Sementara tiket kelas festival konser Sting di Jakarta Rp 1.800.000. NOAH gokil, harga tiketnya setara musisi dunia,” ulas Che. Tapi, inti ucapan Che bukan di situ. Ia bermaksud member spirit buat pegawai band dari kalangan indie, cutting edge, underground, atau apalah istilahnya. “Oke, kita lupakan NOAH. Mari kita tengok kawan-kawan kita dari kalangan band yang nggak punya majikan. Ada cerita menarik dari salah satu kru Cupumanik yang jadi roadis sebuah band metal asal Jakarta. Dia cerita kalo tiap personel band metal tersebut mendapat pemasukan sekitar Rp 6 juta saban bulan. Itu di luar uang manggung,” cerita Che lagi. Ada ucapan Che yang sangat dalam tentang kasus ini, “Sekarang kesempatan meraih rejeki terbuka lebar buat anak band indie. Dan faktanya, rejeki Tuhan di wilayah profesi jadi anak band (indie) tidak kering. Mari kita buka mata, apa pun profesinya, sukses itu milik orang yang yakin dan rela berkeringat deras.” Anjroott… ini saya kira kalimat yang sangat inspirasional buat kalian yang saat ini main band. Banyak fakta yang menunjukkan, beraktivitas di skena metal bisa juga hidup layak. Burgerkill memang lagi-lagi jadi contoh ideal. Tapi di luar Burgerkill, masih banyak lagi contoh. Oke, memang benar, kecuali untuk segelintir band, uang tampil band-band metal sangat tidak bisa dijadikan sandaran hidup. Tapi, kita akan mati kelelahan jika terus-terusan berkubang dalam masalah ini. Kita memang bukan kalangan komersialis murni yang bisa mematok harga manggung segini atau segitu. Selalu ada ewuh pakewuh atas nama jalinan pertemanan. Alih-alih terjebak dalam situasi ini, sebuah band lebih baik mencari jalan lain untuk menghidupi diri. Berjualan merchandise sama sekali bukan profesi haram menurut agama. Memanfaatkan jalinan pertemanan di komunitas untuk mencari peluang hidup, adalah hal yang wajar dan sah menurut hukum. Silakan bereksploitasi di sana. Jangan pula memberati diri dengan embel-embel tudingan sell out alias menggadaikan idealisme. Kita perlu hidup. Perlu berdaya. Perlu berpikir memiliki istri dan keluarga dengan taraf ekonomi yang layak. Tentu saja dari hasil main band, bukan yang lain. Sebab, jika kaya dari hasil menjadi direktur BUMN mah nggak rock ‘n roll atuh coy. Kaya dari hasil bermain band metal, itu baru funky. Utopis memang, tapi bukan berarti tidak bisa digapai. BERHENTI MENGEMIS Di luar soal itu, masih ada celotehan Che yang tidak kalah menarik. Yakni, tentang cara mengapresiasi musisi lewat membeli CD original. Dalam celotehannya, Che mengaku ada orang yang bertanya di akun twitter miliknya: “Che, apakah dengan cara member CD original sebuah band berarti kita sudah menghargai musisi?” Che lalu menjawab, “Jangan membeli CD (Cupumanik) hanya karena ingin menghargai. Belilah sesuatu atas dasar suka. Sebuah penghargaan terhadap karya musik bisa dimulai dari kata suka. Prinsip ekonomi/transaksi jual beli antara pasar dengan band bermuara di situ. Prinsip sederhananya dan hukum yang masih berlaku masih seperti ini: gue suka, gue beli. Saya sendiri sudah berhenti menyemburkan pernyataan: hargai kita dong, beli CD original kami dong! Sebab, bagi kami, kalau memang kalian suka tentu akan membeli karya Cupumanik tanpa paksaa. Sesederhana itu kok!” Dalam kalimat lain Che ingin berujar, jika orang belum mau beli apa pun yang dikeluarkan Cupumanik (entah itu album, merchandise, atau tiket konser) berarti belum menyukai. Oleh karena itu, jangan menggerutu atau ngambek dengan keadaan tersebut. Justru sebaliknya, jika orang belum mau beli karya kita, itu berarti peringatan bagi kita untuk memperbaiki diri biar band kita terlihat cantik, mengkilap, mentereng, unyu-unyu. Jika band kita sudah keren, tanpa harus mengemis pun mereka akan naksir. Jika sudah naksir maka kecenderungan untuk membeli karya kita jadi lebih besar. So, mari berhenti mengemis! Dan tentu saja tetap woles, kawan! (Aang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar