Jumat, 04 Juni 2021

Peran Saparua sebagai Counter-Culture Bandung Era ‘90-an

GOR Saparua sebagai jantung musik arus pinggir Bandung di era ‘90-an memang bukan hanya sekedar mitos. Tempat tersebut merupakan saksi bisu dari gejolak semangat para pemberdaya musik mandiri, terutama jika berbicara mengenai Bandung. Selain sebagai arena yang bersifat magnetis untuk para penggemar musik-musik underground, eksisnya Saparua juga sempat menjadi bidan dari kelahiran beberapa subkultur dari berbagai pergerakan yang tengah berjalan di era itu. Istilah kerennya, counter-culture. Kita mungkin sudah mendengar banyak cerita mengenai tempat bersejarah untuk penggerakan musik arus pinggir lokal yang sudah dibangun sejak tahun 1969 ini. Tak sedikit juga band-band era tersebut yang masih eksis hingga hari ini sebagai saksi bagaimana panggung Saparua sangat menghidupi ekosistem musik underground saat itu. Dimulai dari sana lahirlah komunitas-komunitas kecil, edaran zine sebagai sarana bertukar informasi, serta pandangan hidup yang masih diadaptasi dari musik. Pergerakan-pergerakan mandiri tersebut akhirnya menjadi sebuah counter-culture yang aktif untuk beberapa subkultur yang tengah berlaku di era ‘90-an. Bagaimana tidak? Di saat era itu Nirvana sedang banyak dipertontonkan di layar kaca. Cobain dan koleganya seakan menjadi demam baru lewat “Smells Like Teen Spirit” serta fashion statement mereka. Grunge pun mulai dianggap sebagai the new mainstream era itu. Imbas dari fenomena grunge tersebut pun menyulut beberapa musisi cetakan yang dikemas lebih ‘pop’ di ranah lokal semacam Nugie dan Oppie Andaresta.
Di sisi lain, band-band rock jebolan Log Zhelebour seperti Boomerang dan Jamrud pun sedang banyak diminati pada era itu. Atau jika kita membahas yang lebih populis lagi untuk ranah nasional, rasanya grup-grup pop rock dengan dalih cinta semacam Dewa 19 atau Ada Band pun mulai berdatang dari ranah mayor label. Fenomena tersebut seakan membuat tahun itu mempunyai ilusi bahwa masa itu era yang besar untuk musik rock. Padahal kenyataannya, semua yang disajikan secara populer terasa cukup generik dan membosankan. Di sinilah Saparua memegang peran krusial dan unik sebagai bentuk counter-culture dengan cara yang lebih hardcore, yaitu dengan menyatukan berbagai aliran musik ke dalam satu arena yang dipadati scenesters arus pinggir. Selain sebagai angin segar yang menjadi alternatif dari tren musik populer, panggung musik di GOR Saparua mampu memberikan spotlight untuk beragam band dengan musiknya sendiri ke dalam ekosistemnya. Buktinya tidak hanya band-band underground macam metal atau punk yang bisa berhura-hura di Saparua, band-band pop seperti Pure Saturday dan Cherry Bombshell pun punya nama tersendiri bagi para individu yang mengalami masa kejayaan Saparua di waktu itu. Selain menjadi angin segar untuk asupan musik kancah lokal lewat helatan mandiri, berbagai subkultur yang terseret oleh musik yang berkaitan dengannya pun hidup dan berkembang di lingkup para pelaku di dalamnya. Tak dapat dipungkiri, semua aspek yang berkaitan dengan musik apa pun yang dimainkan di era Saparua menjadi suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan mau tidak mau, para pelakunya pun harus bisa memahami (atau mengamalkan) semua aspek “kebudayaan” atau “pergerakan” yang membuntutinya.
Sebagai contohnya, beberapa komunitas kecil lahir dari “tongkrongan” musik Saparua dan mulai mengakuisisi beberapa titik di kota Bandung. Seperti tongkrongan PI (yang saat ini dikenal sebagai BIP) dan Riotic, distro pertama yang lahir di scene musik dan berawal di Cijerah, hingga Sadar 181. Kolektif-kolektif tersebut lahir dari scene hardcore. Dari komunitas-komunitas yang memiliki perbedaan acuan subkultur tersebut, maka lahirlah pula zine sebagai salah satu media favorit para pelaku di era tersebut untuk menyuarakan opininya sekaligus mempromosikan subkultur yang mereka emban. Poros zine di era Saparua memang terhitung gencar dan marak. Keterbatasan informasi menjadikan produk fisik jauh lebih efisien ketimbang digital. Ketika akses internet tak semudah hari ini, maka zine pun menjadi penopang informasi untuk bertukar referensi dan wawasan. Bahkan mengetahui beberapa kabar terkini di dunia arus pinggir. Contohnya, zine yang diproduksi dari Sadar 181 berjudul Bandung Edge News.
Selain upaya dari komunitas tersebut, spirit straight edge tentu menyelusup lewat band-band yang tampil di era Saparua. Band-band straight edge lokal yang sempat bermain di Saparua seperti Blind To See dan Manusia Buatan tak tentu tak lepas dari peran mengamanahi gaya hidup straight edge untuk diminati di kancah hardcore lokal. Saparua seakan menjadi salah satu sentral budaya tandingan dari budaya populer yang sedang berjalan di eranya. Memantik berbagai pergerakan untuk bergerilya dan menciptakan ekosistem yang berjalan seiringan. Meskipun saat ini arena Saparua sudah tak lagi berfungsi sebagai daratan gigs underground, namun dampak yang ditinggalkannya seakan tak pernah terhapus. Beberapa dari counter-culture tersebut masih berjalan hingga hari ini, tentu peran Saparua tak dapat lepas di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar