Beragama Ala Komunitas Musik Metal Ujungberung Rebels # 1
Sungguh tragedi itu semakin memperburuk citra pegiat musik indie di tengah-tengah hidup bermasyarakat. Urusan keagamaan sering dianggap tak pernah ada di kalangan metal ini. Benarkah?
Dalam buku Memoar Melawan Lupa, Catatan-catatan tentang Insiden Sabtu Kelabu Tragedi AACC 9 Februari 2008 dan Ujungberung Rebels yang ditulis oleh Kimung terbitan Minor Books, CommonRoom dan Hivos pada 9 Februari 2011 sarat dengan keagamaan.
Namun, model keberagamaan para pemusik metal ini tidak hanya dilihat dari aspek ritual (shalat, puasa, pergi ke mesjid, menghadiri pengajian, memakai peci, kerudung, sarung) semata, tapi bisa dilihat dari segi pemikiran, perilaku dan karya nyata. Meskipun, ada beberapa pentolan indie sangat kuat memegang aturan agama.
Mari kita telaah secara seksama dalam buku babon dari Panceg Dina Galur, Ujungberung Rebels dengan memegang teguh slogan ”…Panceg dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awak lebur…”
“Wah jangan nyuruh Gembel buat berdoa atuh. Mendingan kalian aj yang berusaha,” sambil bercanda Gembel memegang erat tangannya. Semua personil tertawa. Lalu satu per satu dari mereka merapat membentuk lingkaran. Mereka berdoa bersama lalu secara serempak berteriak lantang “Beside” (h.21)
“Chex, urang butuh mobil jang ngangkut korban. Sakalian jieun jalur evakuasi. Tulungan nyak!” sedikit berteriak saya meminta pertolongan Butchex
“Oke, siap. Barudak urang aya nu mawa mobil. Korbana bawa ka sisi jalan heula. Jadi langsung diangkut.” Dengan sigap Butchex merespon.
Gembel segera menuju lorong pintu artis, berteriak agar area tersebut dokosongkan untuk mempermudah evakuasi orang ingsan. Remaja yang pingsan bersama kawan yang lain digotong keluar gedung. Sampai di luar nampak lalu lintas macet. Gelisah kembali menyergap Gembel ketika menanti kedatangan mobil yang dijanjikan Buthex. Semenit, dua menit. Waktu berjalan sekan sangat lambat. Semenit, dua menit lagi. Tak sabar, Gembel segera saja meletakkan anak yang pingsan tersebut di pinggir jalan dan segera berlari ke arah bar Kyoki, menemui aparat dan mobil patwal.
“Pak, maaf. Saya butuh kendaraan segera. Ada beberapa orang yang harsu segera dibawa ke rumah sakit. Kondisinya kritis,” mencoba mencari pertolongan pada aparat tersebut
“Mas panitia bukan?” balik aparat itu bertanya
“Bukan, Pak. Saya cuma nolongin aja,” jawab saya dongkol karena aparat itu tak segera merespon malah memperlambat rencana evakuasi saya dengan pertanyaan yang menurut hematnya tidak usah dilancarkan saaat itu.
‘Ya sudah, tenang saja. Ambulan dalam perjalanan,” jawab aparat itu lagi mencoba meyakinkan Gembel. (h.26)
Ia segera balik lagi dan berlari ke arah orang yang tadi ia gotong. Sekilas ketika melintas ia juga melihat sosok yang sedang tergeletak sendirian. Ketika sampai, lagi-lagi ia terlambat. Tampak kawannya sedang menangis meratapi jasad di sisinya. Jasad bertelanjang dada. Sepatunya tinggal satu. Gembel masih belum nyakin. Ia periksa semua tanda kehidupan di tubuhnya. Semuanya nihil. Lagi-lagi Gembel tak percaya. Dia saudah pergi, batin Gembel. Dadanya semakin sesak. Mata Gembel mulai panas berair. Antara marah, kecewa dan sedih. mendadak senyap menyergapnya. Gembel merasa sangat sendirian di tengah semua keriuhan yang sedang berlangsung saat itu.
Sedetik, dua detik, keriuhan kembali menghajar relung paling sepi dalam diri Gembel, menghjarnya telak, mengembalikkan kesadaranya. Sejurus, ia melihat Andris Burgerkill bertelanjang dada sedang sibuk menggotong seseorang. Segera ia membantu Andris.
“Urang bawa ka mobil si Andika,” Andris memberi perintah Mereka bergegas menggotong anak yang pingsan itu melewati kerumunan penonton yang masih membludak panik. Andika saudah menanti di mobilnya. Korban dimasukkan melewati pintu bagasi.
“Bah aya hiji deui nu kudu ditulungan. Konisina kritis. Jigana kudu gancang dibawa” Gembel mengajar Andris. Kami segera berlari menembus kemacetan kendaraan, menembus kerumunan orang-orang menuju arah bar Kyoki. Ternyata sudah ada banyak aparat di sana. Tampak sedang mengerubungi tubuh yang tergeletak. Andris berlari menerobos kerumunan tersebut.
“Pak, tolongin dia! Cepet angkut!” Andris duduk di samping jenazah dan berteriak lantang pada aparat.
“Kamu siapa? Kamu panitia ya?” aparat balik bertanya dengan nada membentak.
“Saya bukan panitia, Pak! Saya cuma kasihan liat orang ini” Andris memberian pembelaan
“Ya sudah, kamu diem aja! Gak usah sok sibuk! Ini sudah jadi kewenangan aparat” nadanya makin tinggi. Lalu Andris didorong ke belakang. Suasana mendadak memanas. Andris, sang mesin tempur Ujungberung Rebels yang terkenal tak takut kepada siapapun termasuk aparat itu jelas meradang. Ia berbalik mendorong badan si aparat tadi bersiap-siap mementahkan bogemnya, tidak terima atas perlakuakn aparat tersebut. (h.27)
Dengan adanya tulisan pendek ini mudah-mudahan berita miring di media yang terkesan memojokan teman-teman komunitas atas tragedi ini dapat sedikit diluruskan, dan kejadian ini dapat dijadikan contoh kasus yang perlu diteladani dan disikapi dengan benar oleh semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan sebuah konser musik. Tulisan ini hanya sebuah pandangan dan opini seorang musisi, teman, dan penikmat musik yang sangat mengharapkan suasana yang kondusif dari sebuah konser. Dari lubuk hati yang paling dalam saya mewakili komunitas musik sejagad Indonesia turut merasakan prihatin dan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas tragedi ini. Semoga teman-teman kami yang telah pergi dapat beristirahat dengan tenang dan segala kebaikannya diterima disisi Allah SWT, Amien…
Live hard, die hard… Rest In Peace Brothers!
We’re gonna miss u… (h.32)
Tampilnya Pa Marsion sekalu dari korban Ahmad Wahyu Effendi mengenang ata meninggal anaknya pada acara seminar ini memberikan harapan yang berarti bagi komunitas metal. “Saya tidak menyangka ini akan terjadi. Sebelum berangkat, Ahmad minta izin kepada ibunya dan saya,” tuturnya. Namun, kabar buruk mengenai Ahmad diterimanya malam itu. Anak saya tewas. “Kejadian ini sangat memukul. Ahmad pamit dalam keadaan sehat, tapi pulang sudah jadi mayat. Sebagai orantgua saya sangat terpukul,” tuturnya
Meski bersedih dan merasa kehilangan, Pa Marsion tak menutup mata. Ia melihat musuk bawahtanah memiliki banyak peminat, termasuk almarhum anaknya. Karena itu, ia berpesan “Kepasa anak muda yang suka nonton konser jangan sampai kapok. Tapi ini harus jadi pelajaran. Kalau nonton jangan sampai enggal tertib.” Dengan legowo, Pa Marsion juga berpesan kepada band Beside untuk tidak menjadikan Tragedi Sabtu Kelabu sebagai penghambat untuk terus berkreasi. “Terimakasih kepada band Beside. Jangan sampai merasa disalahkan. Terus berkarya”
Harapan dan harpan yang bergulir dari setiap kata Bapak luar biasa satu ini seperti untaian doa yang terus bergulir. Bagi komunikas bawahtanah, doanya adalah seperti sebuah mukjizat untuk tetap hidup dan melanjutkan perjuangan. Begitupun dengan doa dari orang-orang tua korban lainnya. Anak mereka telah tersemat dalam benak dan hati komunitas baah tanah sebagai phlawan. Sudah sepatutnya kematian mereka dijadikan refleksi oleh komunitas bawahtanah itu sendiri. Semoga arwah para pahlawan kami ini bisa diterima di sisi-Nya. Amin (h.57)
Ketika rock merongrong pop dan menjadi motor gerakan perlawanan budaya di kalangan anak-anak muda, dalam kapasitasnya sendiri dengan informasi yang terbatas pada masa tahun 1960-an, apa yang terjadi di Barat itu juga segera punya pengaruh terhadap gaya hidup anak muda di mana-mana. Bisa dibayangkan situasi masa kini ketika dunia menjadi satu—istilah Thomas Friedman ”jagat menjadi rata”—bagaimana pengaruh itu menembus sampai pelosok desa, taruhlah Ujungberung, kawasan di pinggiran Bandung bagian timur.
Informasi dari jagat maya telah menjadikan anak-anak muda Ujungberung menjalani trajectory budaya. Sore atau petang mengaji, malam kumpul teman-teman ber-metal-ria. Bahasa duka cita mereka ungkapkan lewat t-shirt seperti ”underground berkabung” tadi, atau bahasa-bahasa lain lewat zine mereka. (h. 73)
Sejenak mari kita tundukkan kepala pagi martyr metal undergrounders yang telah meninggalkan kita di launching album beside – against ourselves bulan Februari lalu.Mari kita gali lebih lanjut album yang diluncurkan bulan Februari lalu tersebut. Scene Ujung Bronx selalu menghasilkan band band yang berbahaya, salah satunya dalah BESIDE dan lewat album ini mereka menyajikan musik musik metalcore yang banyak terinspirasi oleh band seperti Chimaira, Soilwork, Lamb of God dan lainnya. Bila kita hanya mendapatkan sampler berupa lagu saja tanpa kita mengenal band ini sebelumnya, saya berani bertaruh anda pasti menganggap lagu tersebut asal dari band luar negeri .Yap pasti .. kualitas recording dan mixing yang rapi dihidangkan di album ini sehingga sepintas mirip band2x Trustkill Records. Album ini berisi total 11 lagu dengan durasi kurang lebih hanya setengah jam saja. Lagu lagu yang powerful ini dikemas sedemikian rupa sehingga pendengar akan dimanjakan dengan komposisi lagu lagu yang cukup enak didengar dari riff2x gitar yang melodius dikombinasikan dengan beat drum yang cukup baik mengisi dan mengatur tempo pada lagu lagu milik Beside ini.
Diawali oleh lagu akustik berjudul intro, lagu yang agak kelam menyuarakan sesuatu di balik album ini.dan memang album yang dikemas ulang dengan bentuk digipak CD ini memuat nama nama para martyr yang telah meninggalkan kita pada launching album ini. Dilanjutkan dengan komposisi apik berjudul the end of pain yang dapat dikategorikan sebagai lagu bertempo menghentak dan cukup easy listening. Lagu lain yang cukup menggigit adalah 7th Deadly Sin , sebuah lagu yang diawali dengan riff riff gitar ala Lamb of God . Lagu yang berlirik sarkasme muncul di lagu aku adalah Tuhan, sebuah plesetan pada hubungan vertical kita dengan Tuhan. Tema dalam album ini kebanyakan agak sarkasme dengan mengedepankan kekerasan dan ketidak adilan dalam hidup. (h. 130)
Bandung Deathfest III; Wilujeng Bonge!!! dibuka oleh rajah Pamuka, sebuah ritual bgai keselamatan bersama. Sehabias merajah, semua berdiri, saling bersalaman. Bah Adung, sesepuh Sunda memercikkan air bungan ke semua yang hadir di rajah saat itu. Sejuknya menghamparkan kedamaian, menghantarkan semua yang hadir ke titik nol, titik paling nihil, kekuatan total untuk berjuang. Ya, semua yang hadir sudah siap berjuang saat itu. (h. 176)
Repotase acara Bandung Deathfest 3 dilaporkan secara lengkap oleh METALnino;
Sesuai rundown, event dimulai tepat pukul 1 siang dengan dibuka oleh band lokal OPIUM yang sama-sama mendapatkan jatah tampil sama dengan band penampil lainnya selama 25 menit. Yes, mereka mengusung death metal,pastinya. EDEN COLLAPSE selanjutnya yang kebagian jatah membantai telinga, disusul dengan band death metal Bandung; EMBALMED (Berpersonilkan ex-member nya NAKED TRUTH). Band ini berformasikan: Idat (Gitar), Ari (Drum), Riki (Bass) dan Sabo (Vocal). Usai EMBALMED, tampil band brutal death generasi baru asal Bandung yang terus terang sempat membuat saya kagum sebelumnya saat menikmati lagu-lagu mereka di my space. Fuckin Incredible! You rulez bro! Dan sekarang ini ternyata saya bisa langsung mengarahkan langsung mata saya kepada live perform mereka.
DISINFECTED kebagian melakukan penyiksaan setelah MANNEQUIN dan mengusung 5 buah lagu; “Reek shit on a tomb”,”Melted”,”Aku akan bunuh kamu”,”Master of puppets”(cover lagu milik METALLICA yang dibrutalkan aransemennya) dan lagu pamungkas bertitel “Within’ Subconcious mind”, disusul BLEEDING CORPSE, band brutal death metal tuan rumah yang belum lama ini baru saja menelurkan debut album yang sangat menakjubkan; “Ressurection of Murder”. Nuansa style a-la DISAVOWED langsung menghantam panggung. Brutal as fuck!!! Selain intro, BLEEDING CORPSE juga menyuguhkan 5 lagu dalam set list mereka; “Ressurection of murder”,”bangkai para pendosa”,”Inhuman Treatment”,”Simpuh tubuh terbunuh” dan ditutup oleh lagu pamungkas “Exsecusi mati” yang notabene merupakan lagu baru.
Dan selesai dengan band yang satu ini, panggung kemudian dibuat santai oleh atraksi pencak silat yang berakhir menjelang azan magrib. Penonton akhirnya terlihat mendingin dan sebagian besar diantaranya lebih memilih untuk duduk-duduk santai di pinggiran venue. Sebagian dari mereka terlihat mempersiapkan diri untuk beribadah sholat magrib, dan sebagian lagi malah terlihat asik memanjakan tenggorokan dengan anggur merah, botol-botol vodka dan berbagai penyegar lainnya (Ha ha ha!). Maklum, hari segera gelap; cuaca dingin full hawa pegunungan segera menusuk tulang. Sementara itu sebagian panitia yang beristirahat menjelang magrib, terlihat kompak nongkrong bareng bersama rekan-rekan brimob yang bertugas di venue. Sambil bercanda tawa tentunya! Enjoy! (h. 177-178)
BAHEULA, AYEUNA, SALILANA – SAPARUA ….!!! Merupakan tema dari acara Bandung Youth Park Fest ini … Nostalgiaan euy … bertemu dengan teman lama , silaturahmi adalah misi utama saya dating ke sini, karena sudah lama hingar bingar musik bawah tanah tidak menggema di kawasan ini. BYPF ini bisa menjadi prototype dari metalfest skala Nasional, karena memiliki 2 panggung, outdoor dan indoor. Outdoor diperuntukkan bagi kalangan underground yang memiliki banyak massa, sedangkan bagian Indoor bagi band yang tidak memiliki basis masa cukup besar, sehingga didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai diskotik dengan tata cahaya lampu yang sangat baik, sehingga apapun band dan DJ yang tampil disini penonton disuguhi oleh pertunjukan yang luar biasa .Acara ini menurut saya berhasil mengembalikan ‘rasa’ yang telah lama hilang bagi semua kalangan penikmat musik apakah itu metal, underground, electronics, ska, punk apapun namanya untuk kembali menikmati masa masa indah dahulu ketika bermain di saparua, dimana ribuan orang hadir di GOR Saparua ini. Namun mood kegembiraan, suka cita ini tiba tiba hilang berubah menjadi kekecewaan luar biasa ketika menerima kabar bahwa show ini dicut dengan alasan yang bernama ijin keramaian. (h. 183-184)
GOR Saparuan merupakan tempat besejarah dan iconnya musik underground Bandung. Di sela-sela beraktivitas masih ada pentolan metal yang kuat menjalankan ibadah. Ini diceritakan oleh Funny Amaliasari Murtilam, kawan kuliah Kimung, Ivan Sumbag dan Kobah di Fakultas Sastra Unpad secara rinci menuliskan pengalamnya bersama Kiming Dajjal ”Saya juga gak lupa sama Kiming Dajjal”
Emang sih, musik Dajjal gak gitu kena di telinga, tapi sebagai performer, Dajjal asik. Fansya juga heboh. Kalo mereka manggung, kaya ada suasana ‘lain’, apalagi di lapang ada puluhan (atau bisa jadi ratusan) fans mereka yang kebanyakan berambut gondrong dan hampir semua berbaju item-item tumpah melakukan ‘ritual’ headbanging.
Kiming punya rambut yang lebih ajaib dari kimung. Rambut gimbalnya panjang banget. Lebih panjang dari rambut Chicha Koeswoyo jaman nyanyiin ‘Heli, guk, guk guk…’ itu. Saya sering ngeliat dia di BIP. Kalo dia ngelewat, yang saya perhatiin bukan Kiming-nya, tapi orang-orang yang berpapasan sama dia atau ngeliat dia. Ekspresinya pasti sama, takjub!
Tapi, hal yang sangat berkesan dari Kiming -eventhough I don’t know him personally- adalah dia sering say temui di musholla kalo saya Shalat Ashar atau Maghrib disela acara. Yup! Dia lagi shalat. Itu juga jadi hal yang berkesan buat Aniesz. Pernah saya dan Anoez lagi ngiket tali sepatu, Kiming lagi ngobrol seabis shalat disebelah saya. Seabis ngobrol, dia berdiri, trus dengan rmah pamit sama orang-orang yang duduk didekatnya, didepan musholla, termasuk sama saya dan Aniez, Hayu ah, mayunan”. How cool! (h. 190-191)
Ketidak sediaan tempat musik bawahtanah dikeluhkan oleh Kimung;
Entah apa itu. Sedikit terpuaskan juga dengan apa yang dikatakan sahabat saya, “Heavy metal is a sport, man!” Ya, musik keras memang butuh stamina dan apa yang dikatakan sahabat saya benar belaka. Namun, bermain musik di gedung oleh raha? Ah, 13 tahun yang lalau saya masih harus puas jika musik adalah kepemudaan dan pemerintah memfasilitasinya dengan gedung oleh raga. Hmmm, orba banget! Padahal seluruh Indonesia, bahkan Asia dan Swedia serta negera-negare Eropa tahu jika Bandung adalah barometer musik Indonesia. Kota kratif yang tak punya gedung konser musik. Menyedihkan!
Sedikit saya kembali teringat sentilan yang saya, Kang Tisna dan Kang Utun buat, ayo udunan beli tanah untuk kita rawat sebagai hutan kota sekaligus lahan konser musik dan youth center di mana segala ada di sini, ada gerai makanan khas, perpustakaan, toko buku, pusat riset dan dokumentasi kepemudaan, pusat musik, skate park, sarana olah raga, pokoknya tempat yang asyik bagi kawula muda untuk gaul! Tempat yang dikelola oleh kaum muda, untuk kepentingan kaum muda, untuk kepentingan semua pihak. Apakah Saparuan mungkin? Tak ada yang tak mungkin! Kuncinya adalah cinta karena dengan cinta kita jadi konsisten. Bukankah dengan cinta yang besar kepada Allah, nabi Musa aja bisa membelah laut? Mari cintai kaum muda dan Kota Bandung, maka kita bisa mewujudkannya! (h. 194-195)
Adit mengaku bersyukur atas pembebasanya. Rencananya, akan tetap menjalani profesi dibidang Event Organizer (E.O) untuk konser Underground. “Tapi tentunya saya mengambil hikmah dari ini semua agar kedepannya ketika memfasilitasi sebuah event, harus berhati-hati,” ujarnya (h. 203)
Upaya mengenang 2 Tahun Insiden AACC digelar acara Melawan Lupa di Common Room pada tanggal 17 Februari 2010Insiden ini merupakan malam yang tidak akan dilupakan oleh sebagian orang, sehingga dirasa penting untuk berefleksi dan mengenang kejadiannya, selain mengenang momen kebersamaan, serta mengambil hikmah dari kejadian itu. Melawan Lupa, adalah momen krusial dan tagline penting dalam peringatan tahun ini. Berbeda dengan acara peringatan tahun lalu, agenda yang dilakukan tahun ini adalah mengaji dan berdoa untuk para korban dengan cara yang lebih sederhana. Malam peringatan pun dihadiri keluarga korban sebagai bentuk penghargaan kepada para korban yang telah menjadi bagian dari komunitas anak muda yang terlibat di dalam insiden ini.
Inilah model keberagamaan komunitas metal Ujungberung Rebels. [Ibn Ghifarie]
Penulis : Kimung
Penyunting I : Yusandi
Penyunting II : Addy Gembel
Desain sampul : Arief Budiman
Tata letak : Dani popup
Cetakan I, Februari 2011
Penerbit : Minor Books
ISBN : 979-602-25-5892-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar