Jumat, 26 Oktober 2012

ROCK IN SOLO : KINGDOM METAL FEST 2012, SINGGASANA CANNIBAL CORPSE DI KOTA BENGAWAN


Rock In Solo : Kingdom Metal Fest 2012, gelaran keenam pesta metal terbesar dari tanah Jawa berlangsung dengan lancar pada Sabtu,13 Oktober 2012 di Alun Alun Utara Solo.Selama 11 jam, 35 band cadas dari dalam dan luar negeri memborbardir tiga buah panggung besar yang berdiri berderet di sisi timur laut Alun – Alun Utara Solo. Sebuah perhelatan yang pantas diacungi jempol meski beberapa hal juga harus menjadi catatan. 


Menurut jadwal, acara seharusnya dimulai pada pukul 11.00 WIB. Namun karena sang headliner Cannibal Corpse baru tiba di Solo pada pukul 09:30 WIB dan melakukansoundcheck hingga pukul 12:30 WIBmaka acara pun terpaksa molor hingga 2 jam. Pukul 12:45 pintu masuk untuk penonton baru dibuka.

Suasana di dalam venue masih terlihat sepi ditambah cuaca yang sangat panas. Beberapa saat setelah dibukanya pintu masuk, MC membuka acara di 2 stage yang berbeda, yaitu stage B dan C yang terletak di samping kiri dan kanan stage utama (stage A). Band metal asal Solo Undergreed membuka acara di stage B bersama band metal asal Jogja HandsOf Midas di stage C. Stage A kemudian menyusul dengan menampilkan rombongan hip-hop asal kota Solo, Trah Gali Soulja. Meskipun bukan dari genre Rock/Metal, dengan kostum dan bertopeng ala Slipknot, Trah Gali Soulja mampu memanaskan panggung dan menarik perhatian penonton lewat musik mereka.

Stage B kembali bergemuruh menampilkan band death metal asal Bandung Devormity serta garda death metal Eastern Gate asal Solo, Problem Overstay di stage C. Hanyasekitar 2 buah lagu yang mereka mainkan, karena molornya waktu acara sehingga durasitampil di panggung pun diperketat, dan hal ini pun juga berlaku untuk band-band berikutnya.

Stage A kembali dipanaskan oleh band metal asal Semarang, Tiyank Ndusun. Suasana didalam venue sudah mulai ramai saat band asal Semarang lainnya Sunday Sad Story tampil di stage C. Kerumunan penonton pun terbagi menjadi dua antara stage C dan stage B yang di saat bersamaan dipanaskan oleh Fearless, band metalcore asal Solo. Setelah itu Stage A kembali diguncang oleh gerombolan Solo lainnya, Werewolf. Dengan gaya energik, sang vokalis Fajar menyerukan kepada penonton untuk segera merapat ke stage A, namun mereka hanya membawakan 2 lagu saja.

Pukul 2.45 unit slam death metal asal Solo Hydroshepalus sukses membakar stage B dengan beat-beat khas slam death metal dan vokal guttural mereka, bersamaan dengan itu, ada Unremains yang tampil di stage C. Menjelang sore, penonton semakin ramai. Soulsaver kemudian mengambil alih Stage A, rombongan death metal asal Purwokerto ini memasang bendera Palestina dan Indonesia di depan panggung, mungkin ini bukti bahwa mereka peduli kepada rakyat Palestina dan melalui lagu-lagu merekaada pesan yangingin disampaikan kepada penonton.

Salahudin Al-Ayubi tampil di Stage C sesaat setelah Soulsaver selesai. Band metalcore asal Solo ini terasa tampil hanya sebentar karena mereka hanya memainkan dua lagu dan dimainkan secara medley. Well, seperti disebutkan tadi, masalahnya karena durasi tampil yang harus dikurangi karena acara molor.

Stage A kembali ramai sesaat setelah jeda ashar saat rombongan hardcore kota Solo Never Again membakar panggung lewat lagu-lagu mereka, sementara suasana moshpitpun sangat ramai dan berdebu. Cuaca yang panas membuat tanah di dalam venue mengering. Stage B kemudian memunculkan band black metal asal BoyolaliBhrobosan.Tampil dengan menggunakan make up corpspaint, musik yang mereka usung mencampurkan black metal dengan budaya lokal, terdengar melalui suara vokalisperempuannya yang menyanyi seperti menyinden. Sementara stage C diisi oleh Incarnation, band death metal asal Jogja.

Memasuki sore hari, penonton yang datang semakin banyak. Mungkin karena suasana sudah tak terlalu panas lagi seperti siang harinya. Menjelang pukul 16:15, band gothic asalJakarta Dreamer tampil diatas panggung A. Setelah itu rombongan thrasher Jogjakartabernama Metallic Ass pun langsung menendang bokong para penonton lewat distorsi keras mereka yang memporak-porandakan stage C lewat 3 buah lagu yang dibawakan, termasuk lagu andalan mereka “Asu … Parkirnya Sepuluh Ribu!”

Setelah penonton digempur oleh Metallic Ass, di stage B muncul Anorma dari kota Malangsementara di stage C ada Nothing Special band punk dari Solo. Kerumunan penonton semakin banyak ketika pasukan hardcore Surabaya Devadata tampil di stage A. Bodhas cs. tampil beringas didepan penonton. Suara karakter vokal yang besar dan tajam memacu penonton untuk ber sing-along sepanjang Devadata tampil membawakan lagu-lagu mereka.

Barisan cultural black metal asal Solo, Makam, muncul di stage C pada sekitar pukul 16:30 WIB. Salah satu band metal veteran Solo ini mengusung kolaborasi dengan Karomlaku Ethnic Ensemble dari ISI Surakarta. Mereka memadukan metal dengan bunyi-bunyian dari alat tradisional nusantara seperti gamelan Jawa. Setelah Rock In Solo 2012, Makam berencana untuk fokus menyelesaikan penggarapan album terbarunya. “Album baru sudah lama digarap tapi belum kelar sampai sekarang. Pengennya bisa rilis secepatnya.” Kata Djiwo Ratriarkha, vokalis Makam ketika ditemui saat jumpa pers Rock In Solo dua hari sebelum festival digelar.

Revenge
Pengusung death metal bernama Killharmonic dari Kediri menyudahi penampilannya di stage B menjelang pukul 17:00 yang langsung disusul oleh penampilan Revenge di stage A. Band asal Jakarta ini tampil dengan membawakan lagu-lagu baru mereka yang terdapat dalam album kedua“Prelude To Omega” serta sebuah single terbaru yang baru saja dirilis.

Revenge menyudahi sesi siang Rock In Solo 2012 pada pukul 17:15 WIB. Acara pun direhatkan sejenak saat memasuki jeda magrib dan isya. Ketiga panggung sepi dari gempuran band – band , sementara para penonton memanfaatkan jeda selama hampir dua jam itu untuk beristirahat, ke toilet, makan dan sholat. Waktu jeda setelah azan magrib diisi oleh kemunculan kelompok Tari Liong sebagai bentuk perlambang keberagaman budaya di kota Solo.

Diguyur hujan

Hujan yang lumayan deras mengguyur Alun – Alun Utara pada pukul 19:00 WIB sesaat setelah usai break magrib dan Isya. Namun acara tetap jalan terus. Di saat hujan deras mengguyur, dua panggung yaitu stage B dan C digempur secara bersamaan oleh rombongan death metal asal Singapore Nafrat di stage C dan band thrash asal Jakarta, Speedkill di stage B. “Waw…the rain is falling down heavily.” ujar Cedric, vokalis Nafrat setelah mereka menyelesaikan lagu pertamanya. Penonton nampak tak terlalu menggubris hujan yang turun. Mereka tetap menggila di depan stage C. Atau mungkin malah senang karena merasa lebih segar?

Suasana yang kurang lebih sama terjadi di stage B di mana Speedkill sedang menggeber jatah tampilnya. Vokalis Speedkill Unbound berujar kepada penonton bahwa hujan bukan suatu masalah. “Teroris aja kalian ngga takut, apalagi hujan.” katanya yang disambut riuh metalhead di depan stage B.

Legiun death/black metal asal Melbourne, Australia, Belligerent Intent muncul di stage A menjelang Nafrat dan Speedkill mengakhiri penampilannya pada pukul 19:20 WIB. Hujan perlahan mulai mereda saat band yang dimotori oleh vokalis/bassist Craig Omen ini tampil. Hampir selama 30 menit mereka memanaskan stage A. Craig tak mampu menyembunyikan rasa puasnya setelah tampil di Rock In Solo 2012. “The crowd is fuckin mad” ujarnya saat ditemui di backstage. Matt sang drummer kemudian menunjukkan sebuah foto ribuan metalhead yang diambil menggunakan handphonenya sambil berujar “This is insane”.

Aftercoma
Salah satu band lokal yang cukup dinantikan malam itu adalah Aftercoma. Rombongan asal Bandung ini menghajar stage B menjelang pukul 20:00. Durasi 20an menit seolah tak cukup untuk merangkum energi yang dikeluarkan oleh Aftercoma. Di saat bersamaan, di stage C ada pengusung hardcore asal Solo Spirit Of Life yang sibuk memberondong kerumunan penonton di depan mereka.

Berikutnya ada Dead Vertical yang mengguncang stage A. komposisi lagu yang pendek dan cepat tipikal grindcore digelontorkan oleh trio asal Jakarta ini. Setelahnya ada Parau, pengusung metalcore asal Bali yang menghajar stage C. Parau menjadi band terakhir yang menggebrak stage C Rock In Solo 2012. Hampir bersamaan dengan Parau, di stage B juga tampil pengusung black metal asal Solo, Bandoso. Aroma kemenyan menyengat di sekitar stage B saat mereka memainkan setnya dengan tampilan make up corpse paint serta boot dan outfit hitam – hitam. Album terbaru Bandoso “Semesta Paradoks” baru – baru ini dirilis pada 16 Oktober 2012.

Man Jasad
Sesaat sebelum Bandoso mengakhiri penampilannya, di stage A pun tercium aroma hio yang cukup menyengat dibarengi dengan gempuran death metal ala Jasad. Pionir asal Ujung Berung ini pun memberondong penonton yang sudah sangat menyemut di Alun – Alun Utara. Vokalis jasad Rohman tampil beda dengan setelan batik dan menghisap rokok, namun jangan ditanya suara yang keluar dari tenggorokannya. Inilah salah satu vokalis death metal terbaik yang dipunyai negeri ini.

Setelah Jasad masih ada Jeruji, rombongan hardcoremetalpunk asal Bandung ini tampil di stage B sekitar pukul 21:40 WIB yang sekaligus juga menjadi band terakhir yang tampil sebelum Cannibal Corpse memulai gempurannya. Saat Jeruji tampil, Rob Barrett, gitaris Cannibal Corpse sempat menonton penampilan mereka dari samping kiri panggung selama beberapa menit. Rombongan Cannibal Corpse memang sudah datang dan berada di backstage beberapa saat setelah Jeruji naik panggung. Jeruji menyudahi penampilannya sekitar pukul 22:00 WIB.

George “Corpsegrinder” Fisher… Your neck is made out of what, sir?

Setelah mengarungi jeda selama sekitar 30 menit dengan panggung yang gelap serta teriakan para metalhead yang memanggil – manggil nama Cannibal Corpse dan para personilnya, yang ditunggu – tunggu akhirnya muncul juga. Lima sosok tinggi berambut panjang nampak muncul di atas panggung yang masih gelap, namun bisa dikenali oleh para penonton. 


Yup! Raksasa death metal asal New York yang besar di Tampa, Florida, Cannibal Corpse akhirnya menggebrak stage A pada pukul 22:35 WIB dengan lagu pembuka “Demented Agression” dari album terbaru mereka, “Torture” yang dirilis pada bulan Maret 2012 lalu. Penonton langsung menggila digempur oleh track pertama dari album terbaru Cannibal Corpse ini. Meskipun drummer Paul Mazurkiewicz sempat agak kehilangan tempo pada bagian interlude, namun nampaknya penonton tak terlalu mengetahui hal itu dan terus melakukan crowd surfing dengan gila – gilaan.

Ada satu hal yang menjadi ciri khas Cannibal Corpse saat konser, yaitu gaya vokalisnya George “Corpsegrinder” Fisher yang terus – terusan melakukan windmill headbanging atau  headbang dengan memutar – mutarkan rambutnya menyerupai kincir angin atau baling helikopter di setiap lagu, sepanjang konser. George - yang malam itu mengenakan kaos Jasad - hanya berhenti headbanging saat dia menyanyi, selebihnya tak pernah dia lewatkan tanpa melakukan headbang. Dibutuhkan keseimbangan tubuh yang luar biasa untuk bisa melakukan hal itu disamping juga kekuatan leher yang tidak main – main. Melakukan aksi headbang ekstrim seperti itu, bagi orang biasa mungkin akan sangat memusingkan, kehilangan keseimbangan, terjatuh atau mungkin malah pingsan. Tapi bagi George, hal seperti itu sepertinya mudah saja. Something habit, and for sure he’s been doing it for years.

Aksi windmill headbanging George Fisher, gebukan drum yang rapat dari Paul Mazurkiewicz, gaya permainan finger bass Alex Webster serta distorsi pekak dan solo – solo gitar yang cepat dan tajam dari duo gitaris Rob Barrett dan Patrick O’ Brien menjadi suguhan yang seolah meminta Kota Solo untuk jangan cepat – cepat tidur pada malam minggu yang sempat diguyur hujan. Beberapa lagu signature mereka seperti “Make Them Suffer” dan “Hammer Smashed Face” juga ikut digeber malam itu, sebelum akhirnya band yang terbentuk sejak 1988 itu menutup konsernya dengan “Stripped, Raped and Strangled” dari album keempat mereka “The Bleeding” (1994).

Alex Webster, ramah dan murah senyum
Tepat pukul 00:00 WIB Cannibal Corpse mengakhiri gempurannya yang harus diakui sangat rapi dan konstan tanpa banyak kesalahan yang mengganggu. Stephanus Adjie, pentolan band metalcore andalan Solo Down For Life pun tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Mereka seperti sedang muter CD saja.” komentar Adjie via Twitternya. 

Cannibal Corpse tengah menjalani tur dunia setelah merilis album terbarunya “Torture” pada Maret 2012 dan saat ini mereka tengah menggempur kawasan Asia. “Di Asia kami sudah tampil di Thailand dan sekarang di sini. Setelah ini kami akan ke Jepang. Ini pertama kalinya kami ke Indonesia. Bukan hanya indonesia tapi juga pertama kalinya di China dan Thailand. Sampai saat ini kami sudah menjalani sekitar 50an show (dalam tur dunianya) dan mungkin masih ada sekitar 150 show lagi atau lebih, sampai tahun depan. Aku kurang tahu.” Kata Alex Webster saat ditemui ketika hendak melakukan soundcheck siang hari di venue.

3 panggung, 35 band dan ribuan metalhead

Ada beberapa hal positif yang patut dicatat dalam penyelenggaraan Rock In Solo 2012. Dibandingkan tahun lalu, penyelenggaran tahun ini lebih variatif dari segi genre musik dan performer. Hal ini bisa dilihat dengan tampilnya kelompok hip hop Trah Gali Soulja. Dari genre rock pun tak melulu menyodorkan corak – corak yang selama ini sudah akrab di kalangan metalhead seperti metalcore, thrash metal atau death metal. Tampilnya band – band punk seperti Tendangan Badut dan Nothing Special menunjukkan bahwa festival ini berusaha sebisa mungkin untuk mengakomodir segala genre musik rock.

Panggung yang didesain berjejer juga patut diacungi jempol. Meski menghadirkan tiga panggung dengan ukuran yang cukup besar, namun dengan penempatannya yang berjejer membuat para penonton semakin mudah untuk menyaksikan dan memilih band yang ingin ditontonnya. Mereka hanya harus bergerak dari kiri ke tengah dan ke kanan atau sebaliknya, tidak harus berjalan terlalu jauh dari panggung ke panggung seperti penyelenggaraan tahun lalu yang cukup melelahkan. Hal ini penting karena menonton konser musik cadas sangat berbeda dengan menonton konser jenis musik lain, karena dibutuhkan stamina yang tidak sedikit untuk berekspresi seperti headbanging, crowdsurfing atau wall of death dengan frekuensi yang berkali – kali. Dengan desain panggung berjejer, para penonton tak perlu menghabiskan tenaga terlalu banyak untuk berjalan dari panggung ke panggung. Format panggung berjejer ini pun sudah mahfum di festival – festival metal besar internasional seperti Wacken Open Air dan Hellfest.

Hal positif lain yang juga patut dicatat adalah adanya fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penonton yang lebih lengkap dibandingkan sebelumnya. Tenant food and  beverage yang lebih banyak dan variatif, tiga buah toilet portabel (termasuk yang di backstage), rest area, paramedis, serta tempat ibadah sangat membantu kebutuhan para penonton. Dengan konsep festival di mana penonton yang sudah masuk venue tidak dibolehkan keluar lagi, memang sudah sewajarnya fasilitas di dalam venue dilengkapi.

Metalhead dari luar kota berduyun - duyun ke Solo
Sementara untuk catatan kritik, tentu saja tentang jadwal acara yang molor. Tapi ini bukan semata - mata kesalahan The ThinK sebagai pihak penyelenggara. Semua memang terjadi tanpa bisa tercegah. Cannibal Corpse baru tiba di Kota Solo pada pukul 09:30 dan baru melakukan soundcheck pada pukul 11:00 WIB, di mana seharusnya acara sudah dimulai. Alex Webster dkk membutuhkan hampir dua jam untuk memastikan semua peralatan mereka telah siap dan tertata sesuai keinginan mereka, sehingga acara baru bisa dimulai pukul 13:00 WIB. Komplimen justru layak disematkan kepada penyelenggara yang kemudian bekerja keras agar acara tidak molor terus – terusan dan juga kepada band – band sebelum Cannibal Corpse yang merelakan jatah tampilnya berkurang sekian menit, agar acara bisa selesai tidak terlalu larut malam.

Namun pada akhirnya hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Band – band sebelum Cannibal Corpse memang dipotong jatah tampilnya demi kelancaran acara. Namun Cannibal Corpse sendiri malam itu tampil profesional. All out dan maksimal, memuaskan ribuan metalhead sekaligus band – band yang tampil sebelumnya. In the end, everybody is happy 

Akhir kata, penyelenggaraan Rock In Solo : Kingdom Metal Fest 2012 bisa dibilang berjalan dengan baik. Jumlah penonton yang setidaknya mencapai sekitar 8.000 orang menunjukkan bahwa festival ini memang salah satu yang terbesar di Indonesia. Skena musik rock/metal kota Solo nampaknya memang memiliki grass root yang solid yaitu komunitas pelaku dan penggemar musik cadas itu sendiri yang mampu bergerak secara sinergis dan semakin saling mendukung. Jika kondisi ini tetap kondusif, bukan tak mungkin ‘branding’ Kota Solo sebagai The City Of Rock bisa makin sahih, karena sebenarnya kota ini memang sudah memiliki akar skena rock dan metal yang cukup kuat sejak 40 tahun lalu.So, menarik untuk mengamati konsep dan ide apa lagi yang akan disuguhkan oleh Rock In Solo 2013 tahun depan.

Konser Musik Metal Terbesar Di Indonesia


POSTED AT MONDAY, MARCH 29TH, 2010

Flickr.com | Konser Musik Metal
Kota Bandung adalah salah satu kota di Indonesia dengan kepesatan yang mengesankan dalam wilayah kebudayaan populer. Bila memang tidak cukup adil untuk menyebut Bandung sebagai kota pelopor, paling tidak, kita cukup dapat mengakatakan bahwa di kota ini lah youth culture dengan segala perangkatnya, tumbuh subur. Youth culture dengan scene Metal-nya diBandung telah tumbuh diawal 90-an yang dipelopori oleh teman-teman dari Komunitas Ujung Berung dikawasan Bandung Timur.
Melihat perkembanganya yang signifikan dan tentu saja konsisten hingga saat ini, membuat Ujung Berung menjadi salah satu garda depan dalam perkembangan musik Metal di Indonesia khususnya Bandung itu sendiri. Istilah “Panceug Dina Jalur” – Tetap Berada Dijalur menjadi kekuatan personal yang kemudian terakumulasi menjadi kekuatan sosial dalam membangun scene Metal Ujung Berung ini untuk terus tetap aktif berkarya.
Keberadan BurgerKill, Jasad , Forgotten sampai saat ini adalah wujud konsistensi,semangat dan passion yang mereka terus kobarkan dan teruskan untuk tetap dibaca oleh generasi selanjutnya. Maka bila dalam salah satu film dokumenter tentang Global Metal yang dibuat oleh Scot McFadyen dan Sam Dumn ditahun 2008, terdapat ketidaksempurnaan liputan dokumenternya karena tentang scene Metal Bandung tidak terexpose. Kita dapat mengakui bersama bahwa Bandung dan Surabaya merupakan basis komunitas Metal terbesar di Indonesia, tetapi kenapa tidak sedikit pun membahasnya. Itu mungkin sedikit kritik tentang film Global Metal tersebut.
Mengingat bahwa Bandung menjadi salah satu barometer musik Underground khususnya metal di Indonesia, maka kali ini pada tanggal 28 Maret 2010 bertempat di Lapangan Saparua konser Metal terbesar diselenggarakan. Betapa tidak nama-mana seperti BurgerKill, Jasad , Forgotten, Godless Symptom , Savor of Filth dan Tjcukimay dll menjadi garansi betapa supportnya mereka dalam membangun infrastruktur Undergraound di kota ini.
Hal itu benar adanya terlihat dari antusias penonton yang hadir, walaupun terlihat agak sepi dikarenakan miss communication mengenai waktu start pelaksanaan acara dan hujan deras yang mengguyur Bandung tidak menyurutkan generasi Metal untuk hadir di saparua , sebuah tempat yang legendaris bagi perkembangan scene Youth culture dalam wilayah kebudayaan populer di Bandung khususnya. Tempat ini menjadi ikon bagaimana perkembangan Musik Underground dan perangkatnya tumbuh subur diawal 90an.
Konser yang berlangsung hingga petang dalam guyuran hujan dan lautan lumpur didongkrak oleh distorsi musik yang khas membuat adrenalin pengunjung seakan terluapkan sempurna. Semoga ritme aktivitas seperti ini terus dijaga, karena ini salah satu aktivitas cultural dengan etos pertemanan yang kental yang tidak mungkin tergerus oleh dominasi nilai kapital. Semoga saja passion ini terus dijaga dan ditularkan seperti virus kegenerasi selanjutnya sebagai bagian dari politikal identitas mereka nantinya.

Koil Recital Konser 2012


13509007061864439282
KOIL akustik recital
KOIL GOES ACOUSTIC
KOIL, sebuah band asal Bandung yang mengusung musik beraliran rock industrial ini menggelar konser tunggal untuk kedua kalinya. Namun, kali ini mereka menampilkan format konser yang berbeda dari biasanya, ya…para ‘pangeran kegelapan’ tampil dengan format akustik. The Venue Concert Hall Eldorado pada Sabtu, 20 Oktober 2012 disulap menjadi ‘kastil’ bagi para personel KOIL. Ratusan penggemar mereka pun sudah mulai memadati tempat pertunjukan sejak jam enam sore, namun gerbang baru dibuka pada pukul setengah delapan malam. Para pengunjung pun berdesakan memasuki tempat konser, tapi ternyata gerbang menuju hall maih tertutup, mereka pun harus menungu di lorong dan pelataran hall. Sembari menunggu gerbang hall dibuka, para pengunjung disuguhi penampilan dari duet Mission Impossible yang lumayan membuat pengunjung mengoyangkan badan sebagai pemanasan. Stand minuman dan makanan juga tersedia bagi mereka yang kelaparan, sebagian pengunjung juga tampak berfoto di booth foto, di sepanjang lorong juga dipajang dokumentasi KOIL.
Setengah jam menungu, tiba-tiba terdengar lonceng yang berdentang beberapa kali, gerbang menuju hall pun dibuka, walhasil pengunjung kembali berdesak-desakan masuk kedalam mengamankan posisi nonton yang paling pas. Keadaan hall masih gelap, hanya terlihat lampu-lampu kecil diatas panggung yang ditata sedemikian rupa seperti lilin. Lalu lampu panggung menyala dan serentak pengunjung pun bergemuruh melihat dekorasi panggung yang keren. Backdrop panggung dihiasi bintang besar tepat di belakang drum set Leon, altar dengan dekorasi lilin sebagai tempat berdirinya Otong sang vokalis, dan yang paling penting adalah kehadiran tiga wanita seksi dibalut dress hitam yang menyalakan lilin di altar. Lagu Perang pun dikumandangkan sebagai lagu pembuka konser KOIL recital, pengunjung pun berdendang mengikuti irama gitar yang digeber Adam dan Doni. Pengunjung kembali dibuat terperangah saat KOIL membawakan lagu “Takut Adalah Seni” yang dibawakan dengan versi akustik dan “Murka” yang dikemas jazzy. Walaupun konser kali ini dikemas dengan format akustik, namun kelakuan Otong diatas panggung masih sama seperti biasa, membanting gitar, i-pad, dan pot bunga mewarnai serunya konser kali ini. Seorang pengunjung yang berulang tahun pun mendapatkan hadiah gitar dari Otong “Maklum ai kan bukan orang susah” demikian canda nya.
Namun penampilan Otong kali ini nampaknya tidak maksimal, ia pun terlihat beberapa kali hampir kehilangan suara. Memang beberapa hari yang lalu ia mengaku baru sembuh dari sakit, Otong juga beberapa kali meminta maaf kepada penggemarnya karena suaranya yang hampir habis, “Maaf kalo suara saya malam mini kurang merdu, gak kaya biasanya yang lebih merdu dari Glenn” begitu ucapnya yang disambut tawa dari pengunjung. Walaupun dalam kondisi kurang fit, konser KOIL kali ini bias dibilang cukup sukses. Para personel menampilkan aksi terbaik mereka diatas panggung, bahkan Adam Vladamp sang gitaris, bassist dan synthiser sampai ikut menggebuh drum bersama Leon. Pengunjung pun nampak puas ketika lagu “Kenyataan Dalam Dunia Fantasi” dilantunkan sebagai hymne penutup konser yang berlangsung selama dua jam. Para personel pun turun dari panggung dan menyempatkan diri berfoto bersama penggemarnya.
Dalam konser kali ini keempat personel KOIL dibantu oleh empat orang personel pendamping, salah satunya adalah Diva sang keyboardist yang tergabung dalam band Sarasvati. dua orang mahasiswa UPI Bandung juga membantu KOIL dalam konser ini, mereka memainkan cello sebagai alat musik pendukung. KOIL memang selalu menampilkan konsep yang selalu berbeda dalam konser tunggal mereka, aksi panggung yang atraktif dan kedekatan para personelnya dengan penggemar membuat band ini memiliki fan base yang cukup besar walaupun mereka tidak berkecimpung di major label. Harga tiket yang dipatok seharga seratus ribu rupiah pun tak membuat konser kali ini menjadi sepi. Dalam waktu dekat KOIL juga akan segera merilis album baru mereka, album ke-empat mereka selama berkecimpung di industri musik Indonesia.

Bandung Drums Day 2012 Hadir Dengan Konsep Lebih Segar


Setelah sukses dengan dua gelaran sebelumnya pada tahun 2010 dan 2011, Bandung Drums Day (BDD) 2012 kali ini akan hadir dengan konsep yang berbeda. BDD menyuguhkan konsep yang lebih segar. Sebuah konsep di mana setiap pengunjung menjadi “subyek” dalam gelaran drums terbesar  di Asia—bahkan di dunia ini.
Sejak masuk venue, setiap pengunjung akan “ditantang” oleh event ini. Tantangan pertama yang dihadapi adalah on the spot drums contest. Di mobile stage, dalam waktu tiga menit solo drum terbaik wajib dimainkan untuk dapat melenggang tampil ke panggung indoor sekaligus memboyong hadiah satu unit drumset. Bagi yang belum beruntung, disediakan pula dua unit drum set sebagai doorprize.
Tantangan kedua adalah seberapa cepat kedua kaki dapat memainkan beat. Medianya: double pedal. Mainkan secepat mungkin untuk mengklaim perangkat itu.Daya ingat visual pun jadi tantangan berikutnya yang disuguhkan BDD 2012 bagi para pengunjung. Pameran foto yang menjadi output kontes fotografi, menantang pehobi fotografi untuk mempertajam handicap memotret panggung di event ini. Mereka yang sanggup memenanginya, akan mendapat slot bingkai untuk pameran foto di tahun berikutnya.
Memasuki panggung indoor, giliran BDD 2012 yang menjawab tantangan pengunjung. Banyaknya input untuk mendatangkan drummer luar negeri menjadi tantangan tersendiri bagi BDD. Untuk itu, kali ini tak tanggung-tanggung, tiga drummer asing akan berlaga. Mereka adalah Grant Collins (Australia), Zak Bond (Amerika Serikat), dan Brandon Khoo (Singapura).
Tak lupa, punggawa-punggawa drummer tanah air pun ikut andil tahun ini, seperti Yoyo (Padi), Yesaya “Echa” Soemantri dan Indro Hardjodikoro (The Fingers), Jeane “Alsa” Phialsa (Setia Band), Dani (Jamrud), Iqbal Maruli, drummer cilik Nathan Gulo (9 tahun), Jantan, Dion Subyakto, Dino (Kuburan) and His Hope, serta Henrietsa Trio. Konsep battle yang menjadi favorit pengunjung dua tahun beruntun pun kembali ditampilkan oleh battle Father and Son Adjirao Percussion Family, serta battle Metal vs Punk oleh Alvin (Noxa), Abaz (Jasad), Nova (Scared of Bums), Aldy (Pee Wee Gaskins). Pengunjung tentu dapat memeras ilmunya dan menyerap pengalamannya.
Di selasar Sabuga, pajangan drumset dari belasan musisi yang dipamerkan pun menantang para pengunjung untuk menyerap “roh” masing-masing. Belum cukup, konsep edukasi juga ditawarkan BDD melalui Master Class bersama Doktor Musik Grant Collins dan Zak Bond, serta workshop dengan Michael Kristianto.
Dengan berbagai konsep seperti itulah, BDD menantang para pengunjung untuk dapat bereksplorasi di dalamnya, sesuai dengan konsep besar “… And Drum For All”. Hanya di Sasana Budaya Ganesha, Sabtu (22/9), mulai pukul 10.00 WIB.

Senin, 01 Oktober 2012

Soundwaves: Eben Burgerkill: We Will Bleed


image
Eben Burgerkill (Foto: Ludmila Gaffar)
Jakarta - Hidup Ivan itu tidak baik-baik saja. secara mental dia banyak memiliki tekanan, dari sisi fisik pun dia punya banyak masalah dengan sakitnya. Itu dia tanggung di sepanjang sisa hidupnya. Jadi kalo pun akhirnya dia pergi, ya saya pikir itu adalah salah satu media untuk bisa membebaskan dia..” - @AddyGembel (Forgotten)

Itu adalah cuplikan adegan dari bab meninggalnya Ivan ‘Scumbag’ Firmansyah, vokalis berkharisma yang harus pergi selama-lamanya ketika karier bermusiknya baru saja memasuki sebuah fase baru. Fase matang yang semenjak dulu dia impikan dan perjuangkan dengan kerja keras bersama band yang sangat dicintainya, namun tak bisa lagi dia nikmati hasilnya. Tragis memang. Sebagai teman dekat yang sering berbagi cerita dengan Ivan, sudah tentu kejadian ini memukul mental saya dengan telak. Jujur, saat itu saya sempat berpikir untuk tidak lagi bermain dan pensiun dari dunia musik, terlalu banyak beban dan pertanyaan di kepala saya untuk bisa kembali. Sepertinya mustahil melanjutkan semuanya tanpa ada Ivan di sebelah saya.

Akhirnya setelah susah payah melewati masa duka, saya menemukan titik di mana saya harus belajar ikhlas dan berpikir lebih baik ke depannya. Momen kepergian Ivan ini memberi saya ide dan semangat baru untuk mulai menggarap film dokumenter We Will Bleed, yang sudah hampir lima tahun ini saya kerjakan. Film berdurasi kurang lebih 90 menit yang berisi berbagai cerita dari perjalanan panjang band superkeras asal pinggiran kota Bandung, Ujungberung. Band yang tidak pernah menyerah mengejar mimpi-mimpi gila untuk bisa meraih dunia melalui musiknya. Band yang telah lebih dari 17 tahun selalu memberi energi positif dan mengajarkan banyak cara bertahan hidup berdampingan dengan berbagai idealisme yang dianut oleh saya dan teman-teman di Burgerkill.

Awalnya saya hanya ingin membuat film pendek tentang di balik layar sesi rekaman album Beyond Coma And Despair, dengan banyaknya footage Alm. Ivan saat proses penggarapan album terakhirnya bersama Burgerkill. Sampai akhirnya ide saya bergeser ketika menemukan banyak kaset video berbagai format di laci lemari arsip, antara lain 289 kaset MiniDV, sembilan kaset VHS, puluhan file video berbagai format, dan ratusan foto dari era awal band ini berdiri, yang wajib saya konsumsi satu persatu sebagai bahan utama dalam susunan alur film ini. Butuh waktu lama dan keterampilan khusus untuk bisa melakukannya. Sempat terpikir untuk melibatkan pihak lain dan membayar mereka untuk mengerjakannya, tapi keterbatasan dana menjadi ganjalan utama. Akhirnya saya nekat mengerjakannya sendiri dengan minta bantuan beberapa teman dekat.

Target pengerjaan tiga tahun terpaksa harus molor karena berbagai masalah berbau teknis yang tidak jarang bikin hilang semangat. Contohnya, ketika film ini sudah selesai, tiba-tiba hampir 70% external hardisk yang saya gunakan sebagai pusat penyimpanan data crash karena tegangan listrik yang anjlok dan mati. Gilanya, setelah dicek, hampir 90% sumber data film hilang dan tidak bisa lagi diselamatkan.

Hingga hari ini banyak yang bertanya di akun Twitter @burgerkill666 : “Kapan film ini dirilis? Kenapa penggarapannya lama sekali?“ Rasanya saya atau siapapun yang ada di band ini juga tak tahu harus menjawab kapan dan kenapa. Terlalu panjang untuk diceritakan, tapi yang jelas, membuat film dokumenter band tidak sesederhana yang dibayangkan, apalagi ini band saya sendiri. Tak jarang perasaan personal saya ikut terbawa. Selain itu, minimnya pengetahuan saya dalam hal pembuatan film dokumenter juga menjadi salah satu faktor. Tapi bagaimanapun juga, ini film pertama saya. Hanya tekad bulat dan semangat menembus keterbatasan yang menjadi nutrisi saya untuk menyelesaikannya.

Untungnya ada satu hal yang saya suka dari Burgerkill. Sejak awal band ini memang memiliki banyak dokumentasi, apapun bentuknya. Mulai dari cerita unik awalnya berdiri, lalu menjadi band hardcore pertama di Indonesia yang bernaung di major label, ditambah kepergian mendadak sang vokalis di tengah proses peluncuran album baru, jadi bagian penting dari film ini. Selain itu pencapaian bisa bermain di Soundwave dan Big Day Out Festival, Australia, bersama band-band metal internasional juga menjadi materi pelengkap di filmWe Will Bleed ini.

Selain dikerjakan secara DIY (do it yourself), film ini juga digarap dengan peralatan yang seadanya tanpa ditunjang oleh kamera film profesional. Bahkan beberapa footage yang digunakan di film ini berasal dari kamera digital atau kamera ponsel biasa. Tapi saya tetap mempergunakannya selama footage itu masih dalam kondisi baik. Ada beberapa hal yang saya pelajari selama proses ini, salah satunya adalah jangan pernah menganggap remeh sebuah dokumentasi. Hal sepele yang terkadang dilupakan oleh kita ternyata bisa bercerita banyak suatu hari nanti ketika kita sangat membutuhkannya.

Hal paling penting yang saya pelajari dari film ini adalah tidak ada mimpi besar yang dapat diraih tanpa kerja keras dan kebesaran hati dalam menghadapi segala macam prosesnya. Kemenangan terbesar adalah ketika kita mampu menyelesaikan suatu hal yang menurut orang lain tak mampu kita lakukan. Semoga film We Will Bleed ini dapat dinikmati dengan baik dan memberikan energi positif kepada siapapun yang telah mengenal dan menjadi penikmat setia agresi musik Burgerkill. Film ini adalah hadiah spesial untuk mengenang jasa besar seorang sahabat yang telah mendedikasikan hampir separuh hidupnya untuk Burgerkill. This is for you, dude. Rest In Peace m/.